Menelisik Agenda Tersembunyi Dibalik Revisi UU Polri (Bagian Pertama)

Hila Bame

Wednesday, 21-09-2022 | 10:27 am

MDN
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

 

 

Oleh:  Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

 

JAKARTA, INAKORAN

Ditengah hiruk pikuk pemberitaan soal kenaikan harga BBM bersubsidi, berita menyangkut  pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J oleh Bharada Richard Eliezer (RE) atas perintah Irjen Pol Ferdy Sambo masih menghiasi pemberitaan media massa.

 

Terungkapnya kasus pembunuhan itu seolah olah membuka kotak Pandora yang menunjukkan wajah institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang sedang tidak baik baik saja. Karena selain masalah pembunuhan ternyata kasus ini telah memunculkan bias terbukanya kasus kasus lain yang tidak diduga sebelumnya seperti masalah perjudian, narkoba dan yang lain-lainnya. Bias kasusnya sudah melebar kemana mana, maka pantas saja kalau sudah dua bulan lamanya penanganan kasus ini belum kelar kelar juga.

 

Sejumlah persoalan tersebut pada akhirnya menjadi akumulasi untuk munculnya suatu tuntutan agar segera dilakukannya perubahan secara menyeluruh terhadap institusi kepolisian dimana diantaranya adalah dengan merevisi Undang Undang  No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

 

Apa pentingnya Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri perlu direvisi segera?, Mengapa gagasan untuk merevisi Undang Undang ini telah memunculkan tanggpan pro dan kontra ?, Adakah agenda tersembunyi dibalik rencana revisi Undang Undang  Polri pasca munculnya kasus pembunuhan Brigader Joshua ?

Urgensi Revisi

Dalam sistem negara demokratis, kepolisian merupakan lembaga yang memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepolisian mengemban tugas sesuai dengan aturan hukum dan undang-undang yang mengaturnya.

Hal ini dilakukan agar kinerja polisi tidak didasarkan kehendak penguasa dan pengusaha belaka.

Pasca terkuaknya kasus pembunuhan Brigader Joshua, wajah kepolisian kita memang semakin menunjukkan “jati dirinya”.

 

Bahwa ternyata kepolisian negara kita memang tidak sedang baik baik saja. Karena kiprah korps bhayangkara sudah terlalu jauh menusuk ke jantung kekuasaan dengan keikutsertaannya berpolitik dan menjadi pendukung penguasa serta juga pengusaha. Seolah olah meninggalkan fungsi aslinya sebagai pelindung,pengayom dan pelayanan masyarakatnya.

Selain cenderung memihak kepada kepentingan penguasa dan pengusaha, korps bhayangkara selama ini dikenal garang dan sadis, sarat dengan tampilan kekerasan sehingga melaggar hak azasi manusia.


Penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh Polri sejatinya justru menunjukkan sikap arogansinya yang tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tindak kekerasan itu sering terjadi pada penanganan aksi unjuk rasa yang tak jarang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

 

Pada hal unjuk rasa merupakan hak dasar warga negara untuk menyampaikan pendapatnya yang dijamin oleh UUD 1945. Tetapi perlindungan terhadap pelaksanaan hak menyatakan pendapat ini seringkali hanya berhenti di tataran retorika berlaka.

 

Selain masalah aksi kekerasan, sudah sering terdengar juga adanya pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian terhadap aturan perundang-undangan namun tidak diselesaikan sebaimana mestinya. Contohnya kasus penyelesaian pembunuhan Brigader Joshua yang masih terkatung katung karena adanya tarik menarik kepentingan didalamnya.

 

Dampaknya adalah ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian dalam menyelesaikan perkara di institusinya. Padahal pada negara demokratis sudah seharusnya kepolisian mewujudkan kepercayaan publik melalui pelaksanaan tugas yang sesuai peraturan dan masukan dari masyarakatnya.

 

Fenomena lain yang membuat miris adalah adanya banyak perwira kepolisian yang menduduki jabatan publik seperti yang terjadi pada era Presiden Soeharto berkuasa.Hal ini menunjukkan pengisian jabatan publik oleh anggota Polri yang masih aktif sebagai ketidaksesuaian terhadap cita-cita reformasi setelah pisah dari tentara.

Selain itu, juga membuat adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang akibat rangkap jabatan yang di embannya.

 

Secara substantif, urgensi perlunya revisi Undang Undang No. 2 Tahun 2002 karena dalam Undang Undang ini aroma militeristik masih begitu terasa. Semangat militeristik ini telah menjadikan Polri cenderung tidak berorientasi pada kekuatan rakyat sipil untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyakaratnya.

 

Kelemahan lainnya terkait dengan fungsi Polri sebagai penegak hukum, pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dimana dalam Undang Undang ini tak ada ketentuan yang jelas mengaturnya sehingga dalam pelaksanaan implementasi sering memunculkan penyimpangan penyimpangan yang berujung pada pelanggaran hak azasi manusia.

 

Dalam Undang Undang No. 2 Tahun 2002 juga tidak mengatur hal-hal yang dapat mendorong akuntabilitas dan transparansi seluruh tindakan kepolisian selain itu tidak mengakomodasi prinsip-prinsip yang berorientasi kepada transparansi tindakan sehingga seringkali disalahartikan banyak pihak termasuk masyarakat, dan ini membuat Polri berada pada posisi yang tidak menguntungkan tentunya.

 

Didalam Undang Undang Polri juga masih menitikberatkan pada fungsi keamanan daripada fungsi pengayoman dan perlindungan masyarakat yang sesungguhnya menjadi fungsi pokoknya.
Selain itu, dalam Undang Undang Kepolisan tidak dijelaskan rentetan tanggung jawab korps bhayangkara. Sebagai contoh seorang anggota Polri yang bersalah: “Apakah dua pemegang jabatan di atasnya juga bertanggung jawab? Bagaimana realisasinya?”

 

Kelemahan lainnya dalam Undang Undang  Kepolisian,  tidak ditemukan satu ayat atau bahkan kalimat yang menyatakan anggota kepolisian "dipersiapkan dan dipersenjatai" seperti yang ada di Undang Undang TNI (Tentara Nasional Indonesia). Untuk diketahui di Undang Undang  TNI, jelas disebut dalam Pasal 1 butir 21 bahwa "Tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata."

 

Dalam batang tubuh dan penjelasan Undang Undang TNI, banyak sekali ditemukan kata senjata. Misalnya ancaman bersenjata, pemberontakan bersenjata, dipersenjatai, teror bersenjata, dan sebagainya.

Selain itu, banyak terdapat kata/frasa militer dan operasi militer. Di dalam Penjelasan Pasal 2 juga terdapat kalimat "Yang dimaksud dengan Tentara Profesional adalah mahir menggunakan alat tempur". 

 

Baca:  Batang Tubuh UU Kepolisian

 

 

TAG#DESMON, #polri

163607517

KOMENTAR