Menyimak Posisi Singapura Sebagai “Hub” Keuangan dan Transaksi Perdagangan Internasional

Sifi Masdi

Saturday, 03-08-2019 | 13:56 pm

MDN
Tjoki  Aprianda Siregar [inakoran.com]

Jakarta, Inako

Pemerintah Singapura berusaha merumuskan semua kebijakan dan langkah-langkah konkret dengan tujuan untuk menjaga relevansi negara kota ini sebagai “Hub” (penghubung atau perantara). Pasalnya, selama ini Singapura tidak hanya dikenal sebagai “hub” perhubungan udara dan laut, tetapi juga “hub” untuk aktivitas keuangan dan perdagangan internasional.

Hal ini diungkapkan oleh Tjoki Aprianda Siregar, profesional dan pengamat hubungan luar negeri, dalam perbincangan dengan inakoran.com di Jakarta, Selasa (30/7/2019).  

Kota Singapura dilihat dari udara [inakoran.com]

 

Pria yang pernah bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura selama 3 tahun 7 bulan dan baru kembali ke Jakarta awal Februari tahun ini, mengatakan bahwa Singapura tetap konsisten menjaga posisinya sebagai negara “Hub”. Saat ini Singapura, tuturnya, terlibat aktif dalam meningkatkan kerja sama internasional, seperti Belt and Road Initiative (BRI) atau Inisiatif Sabuk dan Jalan yang dimotori China (RRC) dan juga kerja sama Indo-Pasifik.

“Dalam kerangka kerja sama internasional seperti  BRI dan Indo-Pasifik, Singapura mengharapkan dapat mengambil manfaat. Ini karena Singapura sadar bahwa hal yang melatarbelakangi  China mencetuskan ide  BRI adalah untuk konektivitas,” tutur Tjoki kepada inakoran.com.

Tjoki menambahkan bahwa Singapura menyadari bahwa posisinya sebagai ‘hub’ sangat vital dan karenanya  negara kota itu berusaha mengoptimalisasi manfaat  program-pogram BRI dari China. Seperti diketahui BRI didanai oleh Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang dibentuk oleh China dan mendapat dukungan 20 lebih negara. AIIB merupakan bank yang mendukung pembiayaan infrastruktur bidang transportasi untuk mewujudkan konektivitas.

“AIIB ini diharapkan akan menjadi bank yang memberikan pembiayaan pembangunan infrastruktur, khususnya infrastruktur transportasi untuk mewujudkan konektivitas dari Benua Eropa ke Asia Tenggara melalui China  dan Singapura, dan kemudian dari Afrika dan Timur Tengah menuju Asia Tenggara melalui China dan Singapura, dan juga dari  Eropa dan Afrika menuju Australia dan Pasifik  dan Pasifik Selatan melalui RRC dan Singapura,” tambah Tjoki.

Menurut Tjoki, China dan Singapura memiliki jalan pemikiran dan obsesi serupa dalam bidang konektivitas. Seperti China  yang berobsesi untuk menjadikan dirinya sebagai core atau inti dari jejaring konektivitas dunia (global), demikian pun Singapura ingin mengambil bagian dari obsesi tersebut.

Sebagai negara yang mengandalkan pada pelayanan jasa, terang Tjoki, Singapura cukup cerdik melihat peluang. Ini terbukti dari kemampuan negara tersebut melihat potensi dirinya sebagai transit point arus penumpang yang ingin berpergian  ke Eropa, Pasifik  atau pun sebaliknya. Selain itu, negara yang dipimpin PM Lee Hsien Loong juga menjadi transit point barang-barang perdagangan (goods), produk-produk baik bahan baku maupun barang jadi yang dikapalkan melalui pelabuhan Singapura menuju Pasifik.

Saat ini Singapura menjadi pelabuhan transit untuk bahan-bahan bangunan yang berasal dari berbagai negara yang  dikirim ke beberapa negara di Pasifik yang sedang giat membangun seperti Fiji dan Vanuatu. Disamping itu, Singapura juga menjadi pelabuhan titik transit untuk produk-produk ritel atau barang eceran dari berbagai negara, termasuk China, yang dijual ke berbagai kawasan, Asia Tenggara dan Pasifik. 

Deretan perkantoran dan hotel di Singapura [inakoran.com]

 

“Jadi untuk meningkat konektivitas dan jejaring global, Singapura memanfaatkan betul program BRI dan kerjasama strategisnya dengan RRC yang disepakati pada  November 2015 di Beijing antara Presiden China Xi Jinping dan PM Singapura Lee Hsien Loong,” jelasnya.

Kemudian terkait dengan munculnya sengketa dagang internasional, Singapura juga sedang mengupayakan menjadi “hub” arbitrase perdagangan internasional. Artinya, negara ini menginisiasi mendirikan lembaga arbitrase hukum dalam rangka menengahi sengketa dagang antar-negara yang selama ini dilakukan di Eropa maupun di Amerika Serikat.

“Tawaran yang menarik dengan adanya lembaga arbitrase ini  adalah negara-negara yang bersengketa dalam bidang  perdagangan – seperti Asia Tenggara dan Asia Timur – tidak perlu jauh-jauh membawa dokumen-dokumen atau berkas-berkas untuk bukti-bukti dalam proses persidangan arbitrase ke di Eropa atau Amerika Serikat yang biayanya sangat mahal. Tetapi negara tersebut cukup datang ke Singapura dengan biaya yang jauh lebih murah,” tutup Tjoki.



 

KOMENTAR