Pendidikan Vokasi dan Hasil Pertanian Penopang Ekonomi Bangsa

Hila Bame

Sunday, 10-10-2021 | 18:43 pm

MDN
Dian Kresnawati Pengurus DPP Pemuda Tani HKTI

 

Bagian 2. (habis)

Oleh: Dian Kresnawati

Pengurus DPP Pemuda Tani HKTI

JAKARTA, INAKORAN 

Meningkatkan kapasitas petani hortikultura/pelaku usaha hortikultura harus dimulia dari hulu sampai hilir. Aspek hulu: aspek budidaya seperti teknik pengolahan tanah kering, pembenihan dan lain-lain, sedangkan aspek hilir adalah pengemasan, pemasaran dan distribusi produk yang dihasilkan.


 
Secara komprehensif, untuk menjadikan sektor hortikultura sebagai tulang punggung ekonomi nasional (salah satu) maka diperlukan perbaikan yang terstruktur pada empat hal:

(1) sumberdaya manusia petani/pelaku usaha hortikultura; (2) organisasi dan sistem manajemennya; (3) sarana dan prasarana pendukung; dan (4) komitmen pada pembangunan pertanian yang lebih baik.

 

Khusus untuk mengakselerasi SDM petani hortikultura/pelaku usaha hortikultura di Indonesia dan menggerakan ekonomi mereka, maka yang harus dilakukan semua pihak terutama pemerintah adalah:

Pertama, perbanyak pendidikan vokasional seperti SMK pertanian.

Pendidikan vokasi pertanian memiliki peran penting untuk kemajuan suatu bangsa.

Apabila Indonesia ingin menjadi negara maju, maka salah satu faktor penentunya adalah pendidikan vokasinya harus modern dan berdaya saing.

Coba lihat Jepang, Korea Selatan atau Jerman berhasil menjadi negara maju karena sejak awal pemerintah mereka menyadari kontribusi besar yang bisa diberikan pada bangsa dan negaranya melalui pendidikan vokasi.

 

Kedua, perkuat penyuluhan pemberdayaan. Kebijaksanaan pemberdayaan petani hortikultura harus memantapkan perubahan struktur masyarakat melalui penerapan teknologi baru yang dilakukan melalui kegiatan sosial ekonomi produktif yang berorientasi pada peningkatan usaha yang berkelanjutan.

Sebagai contoh, melakukan dan memperbanyak pelatihan terutama untuk petani/pelaku usaha hortikultura yang tidak memiliki akses pendidikan yang memadai dan akses informasi dan teknologi.

 

Ketiga, menggalakan regenerasi petani dengan berbagai kebijakan afirmatif. Urgensi regenerasi petani harus terus digalakan, mendorong anak-anak muda untuk bertani. Generasi muda dengan SDM dan skill yang baik terutama lulusan perguruan tinggi dan SMK pertanain akan menjadi penentu digitalisasi pertanian Indonesia. Dan ini dapat mengubah mindset anak muda bahwa pertanian adalah bisnis yang menarik.

 

Pemerintah tentu memiliki tanggungjawab terbesar, terutama memberikan berbagai kebijakan afirmatif dalam rangka mengakselerasi pertanian Indonesia agar mampu menghadapi era digital. Joko Widodo sejak periode pertama sampai sekarang di periode kedua terus mendorong modernisasi pertanian dan regenerasi pertanian.

Kehadiran swasta juga sangat penting. Tanihub misalnya, memberikan sentuhan baru dengan ekosistem yang sudah terintegrasi dari hulu-hilir (memanfaatkan digital farming).

Begitu pula berbagai hasil riset dan program kampus seperti IPB University yang membuka “tani center” untuk melatih para petani.

 Dan yang perlu diingat oleh semua pihak terkait adalah bahwa inklusifitas menjadi modal utama untuk membangun ekosistem kerja bersama.

 

Keempat, skala bisnis hortikultura: Korporasi Petani. Rata-rata petani Indonesia hanya mengusahakan lahan 0,2-0,3 ha. Hal ini disadari betul oleh pemerintahan Joko Widodo sehingga perlu kebijakan luar biasa.

Inilah salah satu alasan mengapa Joko Widodo menelurkan kebijakan Reforma Agraria (RA): penataan asset yang diikuti dengan penataan akses.

Dalam perkembangannya, dipahami bahwa RA saja tidak cukup selain akses pada modal dengan lahan yang kecil tidak memungkingkan. Inilah yang mendasari ‘korporasi petani’ diperkenalkan Presiden pada tahun 2017 sebagai bentuk manajemen pengelolaan pertanian.

 

Merujuk Permentan No 18 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani disebutkan Korporasi Petani adalah Kelembagaan Ekonomi Petani berbadan hukum berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan sebagian besar kepemilikan modal dimiliki oleh petani.

Jadi, koprorasi petani badan hukumnya bisa koperasi atau perusahaan. Dalam konteks ini, jelas bahwa pemerintah menginginkan korporasi petani dalam rangka melindungi petani dan juga meningkatkan kesejahteraan petani.

 

Korporasi Petani, suka atau tidak suka, dengan sendirinya akan membawa perubahan seperti: pemberdayaan petani bukan lagi berbasis charity, tapi sudah ranah bisnis.

Jadi relasi yang terbangun adalah relasi bisnis. Sesama petani, sesama kelompok tani, maupun antara petani dan pedagang, antara kelompok tani dengan perusahaan merupakan relasi bisnis.

Selanjutnya akan terjadi perubahan pada kuota subsidi dan perlahan-lahan (bertahap) akan hilang sama sekali. Akan diganti dengan kemitraan, pinjaman dan lain-lain. Inilah maksud dari prinsip subsidiary.

TAG#HKTI

161681551

KOMENTAR