Pengacara Petrus Selestinus: Polri Tidak Konsisten dan Sangat disesalkan Pelaku Intoleran di Solo Tidak dijerat Pasal Pidana Berat

Hila Bame

Thursday, 13-08-2020 | 14:27 pm

MDN
Pengacara Petrus Selestinus

Jakarta, Inako

Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila, Petrus Selestinus menyesalkan para Pelaku kejahatan Intoleran yang mempersekusi keluarga Habib Assegaf Al Jufri di Solo pada tanggal 8 Agustus 2020,  tidak dijerat dengan pasal 59 dan 82A UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas, yang sanksi pidananya lebih berat yaitu penjara 5 sd. 20 tahun atau seumur hidup, tegas Selestinus di Jakarta Rabu (13/8/20)

BACA JUGA:  

DPR RI seharusnya Tolak Rancangan Perpres Tentang Peran dan Fungsi TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme

Tidak cukup hanya dijerat dengan pasal 160, 170, 335 jo. pasal 55 KUHP, seharus dijerat dengan pasal 59 dan 82A UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas, yang sanksi pidananya lebih berat yaitu penjara 5 sd. 20 tahun atau seumur hidup, tambah Koordiantor Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) itu, melalui catatan tertulisnya. 

Para Pelaku disebut dari Laskar Solo, artinya Pelaku adalah Anggota dan/atau Pengurus Ormas, yang diduga telah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh ketentuan pasal 59 dan 82A UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas yaitu melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang Penegak Hukum.

Menurut Selestinus, larangan dan ancaman pidana bagi Anggota dan/atau Pengurus Ormas yang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan dll. dimaksud, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 5 tahun dan paling tinggi 20 tahun (Pasal 59 dan 82A UU No.16 Tahun 2017, Tentang Ormas

POLRI TIDAK KONSISTEN.

Penjelasan Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Lhutfi bahwa pihaknya telah berhasil meringkus 5 (lima) orang "Pelaku Intoleran" di Solo, Jawa Tengah, masing-masing berinisial  DD, MM, MS,ML, dan RN. sedangkan pelaku lainnya yang masih melarikan diri, tetapi tengah dilakukan pengejaran dan diminta untuk menyerahkan diri, patut kita apresiasi.

Namun demikian jika Para Pelaku hanya dijerat dengan pasal 160, 170, 335 KUHP jo. pasal 55 KUHP, dengan menegasikan ketentuan pasal 59 dan 82A UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas, ini artinya Polisi tidak konsisten menegakan hukum, karena bagaimanapun Intoleransi merupakan kejahatan berat dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling rendah 5 tahun dan paling tinggi 20 tahun.

Publik menuntut konsistensi sikap Polri dalam kasus Intoleransi di Solo dan di tempat-tempat lain di Indonesia, karena penindakan kejahatan Intoleransi tidak linear dengan semangat dan cita-cita Presiden Jokowi dengan dukungan penuh seluruh rakyat, ketika merevisi UU No. 17 Tahun 2013, Tentang Ormas melalui Perpu No. 2 Tahun 2017, yang disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017, Tentang Ormas.

ABAIKAN KOMITMEN NASIONAL DAN INTERNASIONAL.

Polri akan gagal mewujudkan  komitmen nasional dan internasional sesuai UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas, khususnya dalam kasus Intoleransi di Solo dan di tempat-tempat lain di Indonesia, jika para pelaku hanya dijerat dengan pasal-pasal pidana ringan sebagaimana pasal 160, 170, 335 KUHP jo. pasal 55 KUHP atau sekedar mendamaikan Pelaku dan Korban lalu kasus dihentikan sebagaimana selama ini terjadi.

Padahal ketentuan pasal 59 dan 82A UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas yang seharusnya menjadi landasan utama dalam menjerat pelaku Intoleran, namun nyatanya dikesampingkan dan kasusnya dihentikan Polisi karena Pelaku dan Korban diarahkan untuk berdamai.

Polri harus paham bahwa semangat pembentukan UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas adalah wujud komitmen nasional dan internasional negara dan rakyat Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteran umum dan ikut menciptakan ketetiban dan perdamaian dunia. 

Dengan demikian maka konsistensi Polri dalam menegakan hukum dengan menerapkan pasal-pasal pidana di dalam UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas dalam kasus Intoleran, Radikal, Persekusi dan SARA, merupakan keharusan di tengah menguatnya kejahatan Intoleransi dan Radikal, yang mengancam disintegrasi bangsa, tutup Selestinus. 

 

KOMENTAR