Pesantren dan Kongres Pendidikan NU Perspektif Menteri Agama RI Menyambut Harlah NU ke 102

Hila Bame

Monday, 13-01-2025 | 19:37 pm

MDN

 

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Menarik disegarkan kembali dalam perspektif Menteri Agama RI, Prof. Nazarudin Umar tentang pesantren, lembaga pendidikan "khas" NU dalam rangka "Kongres Pendidikan NU", sebuah acara penting dalam rangkaian Harlah NU ke 102, 16 Rajab 1446  bertepatan "persis" dengan 16 Januari 2025. 

Menarik dan penting seiring saat ini sedang dipersiapkan pembentukan Direktorat Jenderal  (Eselon I) Pesantren "naik kelas" dari posisi "Direktorat" (eselon II) di kementerian agama - yang kini dipimpin Prof. Nazarudin Umar.

Dalam perspektif Menteri Agama, Prof. Nazarudin Umar seperti dikutip Ahmadi Thaha, (mantan) Wartawan Majalah "Tempo",  senior penulis di pesantren Al- Amien Madura, dalam tulisannya berjudul "Tuan Di Rumah Sendiri" (RMOL, 15/11/2024) pesantren ditilik dari sejarahnya adalah salah satu warisan pendidikan paling murni, asli dan maju dari Nusantara. 

Pesantren menurutnya bukan sekedar lembaga pendidikan tapi juga penjaga kearifan lokal, dengan sistem pembelajaran yang mengintegrasikan ilmu agama dan umum, bahkan pesantren telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan sistematis dan unggul secara keilmuan.

Dalam konteks itu (Alm) Prof Dr. Nurcholish Madjid, Cendikiawan muslim, sekali lagi, seperti dikutip Ahmadie Thaha, memberi pengandaian menarik tentang pesantren.

"Jika Belanda tidak menjajah Indonesia, mungkin kita akan mengenal Universitas Lirboyo, Universitas Tebuireng atau Universitas Tremas sebagai institusi pendidikan terkemuka - bukan UI, ITB atau  IPB. Lirboyo, Tebuireng dan tremas adalah pesantren pesantren tua di Indonesia", tulisnya.

Itulah keunggulan tradisi keilmuan pesantren, sayangnya, ketika penjajah kolonial Belanda tiba di Indonesia bukan saja kehidupan politik dimonopoli, tapi juga pesantren dipinggirkan hanya sebagai pendidikan "alternatif", bukan pendidikan "arus utama" bangsa Indonesia. Demikian perspektif Prof. Nazarudin Umar .

Gus Dur dalam "bunga rampai" buku yang ditulis sejumlah intelektual berjudul "Pesantren dan Pembaharuan" (terbit 1974), menyebut pesantren sebagai "sub kultur", sebuah institusi pendidikan memiliki kedudukan kultural yang unik, mampu bertahan selama berabad abad menata nilai nilai hidupnya sendiri, relatif lebih kuat daripada masyarakat sekitarnya. 

"Kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya", tulis Gus Dur dalam buku tersebut.

Dalam bukunya berjudul "Tradisi Pesantren" (terbit 1984), sebuah buku hasil penelitian di sejumlah pesantren di Jawa Timur dalam rangka mendapatkan gelar Doktoral (S 3) di Australian University, Dr. Zamakhsyari Dhofir, penulisnya,  menyebut lima "elemen dasar" pesantren.

Kelima "elemen dasar" pesantren tersebut yaitu : kiai, pondok, santri, masjid dan kitab kuning. Inilah yang di kemudian hari menjadi ciri "khas" pesantren pesantren "NU", berbeda dari pesantren pesantren modern sebagai "boarding school" tanpa pengajaran "kitab kuning".

Dalam perjalanan sejarahnya pesantren mengalami proses pembaharuan dalam dirinya, tidak hanya melayani pendidikan masyarakat dalam bentuk pesantren dalam pengertian "sub kultur" dengan lima elemen dasar pesantren di atas.

Bahkan sebelum Indonesia merdeka telah akomodatif terhadap kebutuhan pendidikan berbasis gender misalnya pesantren Denanyar Jombang menerima santri perempuan tahun 1927, sebuah perspektif fiqih "progresif" di jamannya oleh pendirinya, KH Bisri Syansuri - juga salah satu pendiri NU.

Kini berkembang pesat varian varian pendidikan di bawah "naungan" NU di luar pesantren dalam pengertian "sub kultur" di atas mulai dari pendidikan formal madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi umum baik di lingkungan pesantren maupun di luar pesantren.

Inilah cara akomodatif NU atas perubahan kebutuhan sosial "kelas menengah" NU untuk mendapatkan pendidikan sederajat "sekolah sekolah negeri" dalam merespon transformasi "kebaruan" ekosistem sosial.

Di sini "elastisitas" NU dalam konteks kaidah "khas" NU -  "Almuhafadloh 'ala Al qodimis shaleh, wal akhdu bil jadidil ashlah", kesanggupan memelihara khazanah tradisi lama (pesantren) yang baik dan unggul tapi sekaligus mengembangkan inovasi adaptif dengan "kebaruan" ekosistem sosial

Perspektif tulisan singkat ini tidak dalam konteks hendak mengelaborasi lebih jauh sebuah proyeksi terkait "Kongres Pendidikan NU" di atas dengan segala varian lembaga pendidikan NU  dalam perkembangannya sebagai rangkaian kegiatan Harlah NU ke 102.

Ini sekedar hendak menyegarkan spirit kita bagaimana meletakkan kembali pesantren sebagaimana ditulis Ahmadie Thaha,  sebagai "tuan di rumah sendiri" - dalam istilah Gus Dur disebut "sub kultur",  sebuah model pendidikan yang lahir sepenuhnya dari "rahim" kultural bangsa Indonesia.

Dalam konteks itu Prof. Nazarudin Umar memberikan sebuah perspektif yang tidak "kaku" dalam menerjemahkan pemberlakuan Undang Undang pesantren dalam tujuan menjamin mutu pendidikan pesantren.

Sebagai Menteri Agama Prof. Nazarudin Umar menegaskan bahwa pendekatan penjaminan mutu pesantren harus berbeda dari standart yang digunakan di pendidikan formal pada umumnya. 

"Pendidikan pesantren didasarkan pada spiritualitas dan pendekatan agama, berbeda dengan epistemologi rasional yang dominan di sekolah umum", tegasnya.

Perspektif Prof. Nazarudin Umar di atas - yang menurut Ahmadie Thaha sangat fasih berbicara dimensi historis dan kultural pesantren, dari sudut pandang penulis minimal mengirim dua pesan penting :

Pertama, sebagai "sub kultur" asli bangsa Indonesia pesantren harus "diperlakukan" sebagai "tuan di rumah sendiri". Betapa pun pesantren dipayungi regulasi negara, yakni Undang Undang tentang pesantren, tidak boleh diikat dalam regulasi "formalisme" ketat yang dapat menghilangkan kekayaan akar historis dan kekuatan kultural pesantren .

Kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama pesantren harus disegarkan kembali sebagai "sumber khazanah ilmu ilmu agama", tidak diletakkan dibawah dominasi sumber kekuatan politik kecuali dalam konteks perjuangan politik untuk menjaga pesantren sebagai "sub kultur" pendidikan berwatak "asli" bangsa Indonesia.

Selamat harlah NU ke 102, semoga pesantren meskipun "berat" dalam ikhtiarnya menjadi "tuan di rumah sendiri" setidaknya tidak terpinggirkan dalam arus utama strategi pendidikan nasional, tetap menampilkan diri sebagai "sub kultur" dengan "kekhasan" kultural sendiri sebagai lembaga pendidikan "asli" di Indonesia.  

Inilah bagian penting jalan peradaban masa depan bangsa Indonesia di antara spektrum keislaman dan Kemodernan. 
 

 

TAG#ADLAN

186917219

KOMENTAR