Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar: Belajar tentang Kejumawaan dan Keteguhan

Hila Bame

Sunday, 26-01-2020 | 14:32 pm

MDN
Mendiang Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar (IAIN Syekh Nurajti Cirebon)

 

Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)

e-mail: masdukimasduki87@yahoo.com

 

 Indramayu, Inako

 

Berita tentang meninggalnya beliau sungguh sangat mengejutkan, karena belum lama masih terlihat bersemangat mentranfer ilmu, berbagi dengan mahasiswa dan bertegur sapa bertemu di kampus—Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon—seperti biasa dengan senyum khasnya. Kita semua—termasuk IAIN Syekh Nurjati Cirebon—merasa kehilangan tokoh besar, kyai dan intelektual yang berpengaruh.

Saya termasuk orang yang beruntung menjadi mahasiswa beliau ketika menempuh pendidikan magister (S2) di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan sekarang menjadi salah satu partnernya di kampus ini.

Sepanjang pengetahuan saya, beliau sosok pekerja keras, disiplin, tegas, pemimpin yang visioner dengan memberikan solusi alternative dalam menyelesaikan masalah.

Prof. Maksum Mukhtar; Sosok Kyai dan Intelektual

Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar lahir di Cirebon, 9 Agustus 1954. Beliau menamatkan SD (1969) di Cirebon, SMA (1972) di Kendal Jawa Tengah, Fak. Kedokteran Unissula Semarang (1973-1978), mendalami agama di Ma’had Lughah dan Tahssu Tarbawi (1980-1984) di Ummul Quro University, Mekkah. Kemudian melanjutkan kuliah Bahasa Arab (program anfulen) di IAIN Sunan Gunung Djati (lulus !987), Pascasarjana Magister (lulus 1993) dan doktor (lulus 1994) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pangkat terakhir beliau adalah Guru Besar di bidang Pendidikan Agama Islam serta dosen tetap di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Jawa Barat dan pernah menjabat rector IAIN Syekh Nurjati Cirebon periode 2011-2015.

Beliau juga aktif memberikan kuliah di beberapa perguruan tinggi, di samping juga salah satu pendiri PT di kota santri Babakan Ciwaringin, Cirebon.

Banyak karya-karya beliau yang sudah diterbitkan dan menjadi rujukan mahasiswa dalam perkuliahan juga bagi khlayak. Di antaranya Konsep Imamah Menurut Aliran-Aliran Syiah (1990), Manusia Pencari Kebenaran dalam Konsep Falsafi (1992), Sejarah Pemikiran dalam Islam (1996), Transformasi Pendidikan Islam (1997), Mencari Model Sekolah Plus (1997), dan Madrasah Sejarah dan Perkembangannya (1999). Filsafat Pendidikan Islam (2017), Kajian Ayat-Ayat Tarbawi (2017), Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyah fi bayan al-Lughah al-‘arabiyah (2011), Pendekatan Baru Memahami Bahasa al-Quran Cepat dan Tepat (2004) dan Madrasah Pada 1900-1945; Studi atas Pertumbuhan dan Perkembangan Madrasah tang didirikan oleh oranisasi Islam (1999) serta beberap karya lain yang sudah diterbitkan dalam bentuk jurnal Karya Ilmiah.

Konsep Madrasah Prof. Maksum Mukhtar

Salah satu buku beliau yang sering menjadi rujukan mahasiswa adalah “Madrasah Sejarah dan Perkembangannya” diterbitkan oleh Logos Wacana Ilmu, Jakarta Februari 1999 bertepatan dengan Syawal 1419.

Madrasah ini muncul dan berkembang, paling tidak disebabkan oleh dua hal; Pertama, akibat pengaruh pembaharuan pemikiran Islam misalnya Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Kedua, akibat desakan politik pendidikan kolonial, yang menawarkan pola pendidikan yang berbeda dengan system pendidikan kolonial.

Pada pemikiran beliau madrasah adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam—merupakan pengembangan dari masjid—sehingga ilmu yang diajarkan di Madrasah juga merupakan kelanjutan dari pendidikan yang dilakukan di masjid. Madrasah benar-benar lembaga pendidikan yang dipersiapkan khusus sebagai tempat pendidikan, dengan manajemen yang professional dan memiliki regulasi tertentu terkait dengan komponen dan kompetensinya.

Madrasah dalam konteks kekinian—dengan mengakses modernisasi dalam bahasa Prof. Rhenald Kasali disebutnya era disrupsi—dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi menjadi solusi alternative ‘pelanggan’ pendidikan karena materinya di samping sarat dengan muatan agama juga mengakomodir pendidikan sains dan teknologi yang berdimensi ‘duniawi’ yang dibutuhkan peserta didik.

Sehingga diharapkan akan memunculkan ilmuwan yang kyai, dan kyai yang ilmuwan menyatu dalam performa peserta didik yang tidak dichotomis. Sebab dalam bahasa Prof. Emil Salim ilmu dan berilmu itu ujung akhirnya adalah teosentris bukan antroposentris. Dengan meminjam teori Nurcholish Madjid tidak ada dichotomy antara ilmu (umum) dan agama dan misi ini yang diemban oleh madrasah. Beliau misalnya mengilustrasikan;

Dalam proses mengenal Tuhan, manusia hanya menerima tanda-tanda yang diberikan-Nya. dalam bahasa Arab, kata ‘ilmu’ satu akar dengan kata ‘alam’ (bendera atau lambang), ‘alamah (alamat atau pertanda) dan ‘alam (jagat raya, univers). Ketiga perkataan ini—‘alam, ‘alamah dan ‘alam—mewakilih gejala yang harus diketahui atau di-ma’lumi, yakni menjadi obyek pengetahuan. Jagat raya mempunyai makna penting bagi manusia karena nilainya sebagai sesuatu yang diciptakan untuk menopang kebahagiaan hidup manusia. jagat raya disebut ‘alam karena fungsinya sebagai pertanda kebesaran sang maha pencipta, yang merupakan penyingkap sebagian dari rahasiaNya. Jadi, jagat raya disebut ‘alam karena ia manifestasi Tuhan. Maka Tuhan adalah sumber pengetahuan manusia melalui wahyu lewat para rasul dan nabi yang harus diterima dengan iman dan dipelajari. Sangat erat kaitannya dengan pandangan ini bahwa manusia diciptakan sebagai mahluknya yang terbaik dan dengan begitu, secara logis jagat raya pun diciptakan dengan tingkat yang lebih rendah daripada manusia.

Hanya saja, tidak semua manusia dapat membaca tanda-tanda atau alamat yang sudah diberikan Tuhan. Nurchalis Madjid lebih lanjut  menjelaskan bahwa manusia yang akan mampu menangkap berbagai pertanda Tuhan dalam alam raya ialah, mereka yang berpikiran mendalam (ulu al-albab; memiliki kesadaran tujuan dan makna hidup abadi; menyadari penciptaan alam raya sebagai manifestasi sebagai wujud transendental, dan berpandangan positif dan optimis terhadap alam, menyadari bahwa kebahagiaan dapat hilang karena pandangan negatif pesimis terhadap alam .

Dengan tanda-tanda yang diberikan Tuhan kepada manusia kita secara langsung merujuk kepada al-Quran, dalam surat al-Baqarah [2] ayat 164, Allah berfirman: ‘’Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar dilaut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan berupa air, lalu dengan air itu. Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi  sungguh (terhadap) tanda-tanda keesahan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan.‘’

Ayat di atas secara secara jelas mengilustrasikan kepada kita bahwa seluruh kejadian alam ini merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengan demikian, mengenal dan beriman kepada Allah dapat dilakukan melalui tanda-tanda yang dibrikannya, melalui jagat raya, diri kita sendiri wahyu ataupun benda-benda lainnya. Semuanya dapat dijadikan media untuk beriman kepadaNya .

Untuk kepentingan analisis, tanda-tanda Tuhan dapat kita jadikan menjadi tiga, yaitu jagat raya, manusia dan wahyu. Dari ketiga obyek ini kita akan melihat ilmu-ilmu yang berbeda-beda tetapi tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sebelum dijelaskan kita dapat melihat visualisasi sebagai berikut:

 

Manusia hendak menyingkap rahasia Allah melalui tandanya berupa jagat raya menggunakan perangkat berupa ilmu-ilmu fisik, seperti ilmu fisika, kimia, geografi, geologi, astronomi dan falak. Dengan kesadaran yang telah dijelaskan oleh Nurchalis Madjid di atas, manusia yang mendalami ilmu-ilmu tersebut akan mampu menyingkap rahasia tabir Allah .

Manusia yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya berupa manusia akan memunculkan berbagai ilmu. Dari segi fisik pendalaman terhadap struktur tubuh manusia melahirkan ilmu biologi dan kedokteran. edangkan aspek psikis manusia memunculkan ilmu psikologi. Apabila secara kolektif atau kelompok kajian terhadap manusia melahirkan sosiologi, ilmu lingkungan, komunikasi, hukum, dan sejarah.Ketika manusia berusaha menyingkap rahasia Allah melalui tandanya berupa wahyu, muncul ilmu keagamaan seperti ulum al-Quran, ulum al-Hadits, tafsir, fikih, ilmu kalam, dan tasawuf. Dengan demikian, jalur manapun yang digunakan manusia dalam rangka menyingkap tabir kekuasaanNya akan melahirkan  manusia yang semakin dekat dengan Tuhan.

Paradigma ini sekaligus merupakan jawaban terhadap dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Pada dasarnya ilmu agama dan non agama hanya dapat dibedakan hanya untuk kepentingan analisis, bukan untuk dipisahkan apalagi dipertentangkan. Dalam sejarah tercatat ulama yang mendalami agama menjadi filosof dan dokter, seperti Ibnu Sina, atau lainnya.

Madrasah yang diimpikan oleh Prof. Maksum adalah institusi yang mampu mengimplementasikan ajaran Islam yang holistic, berdimensi dunia dan akhirat—meminjam bahasa beliau madrasah tidak harus mematikan bibitnya, melainkan dapat tumbuh bersam-sama dan saling melengkapi, dengan institusi lainnya—dan berselancar dengan kemajuan zaman.

Beliau mengurai konsep tentang madrasah dalam konteks sosio-politik yang sistematis dan disertai dengan analisis yang kritis—yang berbeda dengan buku-buku sebelumnya yang hanya menyampaikan data-data—pemikiran ini yang kemudian juga diimplementasikannya pada madrasah dalam tingkat tinggi yakni IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang pernah dipimpinnya.

Prof. Maksum Mukhtar; Kejumawaan dan Keteguhan

Beliau mengajarkan kepada kita untuk menjadi orang yang jumawa; Jumawa bukan dalam definisi aslinya (bahasa) Jawa; angkuh, congkak, sombong, gumede, tetapi jumawa dalam definisi percaya diri, tidak minder dan mampu ‘mendongakkan kepala’ di hadapan yang lain.

Seperti ummat Islam awal tidak mau direndahkan, dengan kalimat laa ilaaha illa Allah, mereka percaya diri dan tidak takut di hadapan kekaisaran Kisra. Sehingga ummat Islam mampu menciptakan milestone, tonggak sejarah dan mencapai kemajuannya. Karena kalimat thoyyinah itu mengajarkan dua hal; al-Bara, benci, tidak suka pada Tuhan lain kecuali Allah dan al-wala, loyalitas, ketaatan dan kecintaan hanya kepada Allah.

Berkali-kali beliau menyampaikan agar kita tidak minder tetapi harus mampu ‘jumawa’ di hadapan ummat dan bangsa lain dengan keunggulan kita sebagai khaira ummah, tentu dengan variable ilmu dan iman yang kita miliki.

Kehebatan dan keunggulan juga tidak memiliki dampak apapun jika tanpa dibarengi dengan keteguhan dan konsistensi. Keteguhan dan konsistensi ini yang akan juga menjadi katalisator kemajuan. Banyak pemimpin yang tidak mampu ‘membumikan’ konsepnya karena filosinya ‘obor blarak’, hanya semangat di awal tanpa dikawal dengan konsistensi.

Saya melihat beliau tetap konsisten, teguh pendirian mengawal IAIN Syekh Nurjati Cirebon walau sudah tidak lagi memimpin IAIN. Beliau tetap memberikan kuliah dan memberikan masukan, saran dan kritiknya di forum rapat atau media lain dengan satu jargon IAIN Syek Nurjati bisa tetap tegak berdiri, sejajar dengan perguruan tinggi lainnya.

Wallahu a’lam bi al-shawab

 

*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurajti Cirebon dan tinggal di Kandanghaur, Indramayu

KOMENTAR