Sisi Lain Dari Usulan Gus Muhaimin Tentang Penundaan Pemilu

Hila Bame

Saturday, 05-03-2022 | 13:30 pm

MDN

 

 


Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Penulis menangkap sisi lain dari usulan penundaan pemilu yang dilontarkan Gus Muhaimin dua pekan terakhir lalu menjadi kontroversi, kegaduhan dan keriuhan di ruang publik adalah cara Gus Muhaimin meletakkan issu penundaan pemilu di ruang publik justru untuk menghindarkan issu di atas hanya menjadi alat permainan dan manuver senyap sebagian elite politik yang terus bergerilya menghendaki penundaan pemilu. Dengan kata lain, Gus Muhaimin hendak  mengunci manuver elite di atas dengan cara dihadapkan pada penolakan publik secara massif dan terbukti berhasil.


nilah antara lain yang dalam.teori "dilema demokrasi elektoral" model George Ratzen - diadaptasi I Nyoman Suriatmadja disebut "momentum politik". Momentum itulah yang dibalik oleh Gus Muhaimin untuk memastikan bahwa pemilu tetap digelar sesuai jadwal tanpa dihantui kasak kusuk isu penundaan pemilu dengan cara dihadapkan pada penolakan mayoritas publik. Artinya, Gus Muhaimin konsisten bahwa pileg dan pilpres telah final ditetapkan bersama antara DPR RI, Pemerintah dan KPU RI dilaksanakan pada 14 Pebruari 2024. Konstitusi UUD 1945 pun telah mengunci bahwa pileg dan pilpres dilaksanakan secara reguler lima tahun sekali.


Sayangnya di era media sosial, sebuah era menurut penelitian "Boston Consulting Group" (2010) di mana masyarakat dunia tak terkecuali masyarakat Indonesia dicirikan gampang bosan, "no gadget no life",. over responsif, dan "sumbu pendek". Akibatnya  isu penundaan pemilu yang dilontarkan Gus Muhaimin di ruang publik mudah diframing hingga Gus Muhaimin "dibully" habis oleh para pengamat dan para penggiat media. Gus Muhaimin diandaikan publik takut bertarung, tersandra secara politik dan bahkan di stigma bertendensi pengkhiatanan terhadap konstitusi tanpa ada pembalikan kontra narasi yang berimbang dari para kader PKB.


Politik elektoral adalah politik opini, issu dan persepsi maka membiarkan isu penundaan pemilu yang dilontaarkan Gus Muhaimin dalam konteks makna yang digiring sebagai pengkhianatan konstotusi, kalah "perang opini" secara sistemik, massif  dan hanya fokus pada konsolidasi struktural biasa secara tradisional akan menyulitkan PKB pada pemilu 2024. Kekuatan konsolidasi struktiral PKB dari pemilu 2014 ke pemilu 2019  secara nasional hanya memberi insentif 1% kenaikan elektoral tanpa kemampuan para kader PKB level menengah ke bawah memainkan politik "kontra narasi" terhadap opini publik yang dapat merugikan PKB.


Survey LSI Deni JA yang dirilis tanggal 3 Maret 2022 secara live di "kompas tivi" menemukan data bahwa 73% publik menolak Presiden tiga periode dan penundaan pemilu. Mayoritas (71%)  pemilih PKB pada pemilu 2019 lalu adalah  bagian dari pemilih yang menolak penundaan pemilu. Jika temuan data ini dikontraskan dengan usulan Gus Muhaimin tentang penundaan pemilu tentu akan merugikan PKB dalam persepsi publik tapi sebaliknya jika usulan Gus Muhaimin di atas dikontruksi sebagai cara untuk mematahkan permainan elite yang hendak menunda pemilu justru akan menguatkan kohesi pemilih PKB pada pemilu 2024.


Itulah cara "canggih" Gus Muhaimin untuk mematahkan hasrat sebagian elite politik yang hendak menunda pemilu dengan menghadapkannya pada arus penolakan publik. Sebuah momentum politik bahwa politik "elektoralisme" adalah politik opini tentu tidak memadai lagi sekedar konsolidasi konvensional melainkan diinjeksi dengan kekuatan narasi dan opini di ruang publik. Di sinilah dituntut kepiawaian para kader PKB level menengah untuk mengikuti langgam politik Gus Muhaimin di atas.

 

 

TAG#ADLAN, #PKB

161628421

KOMENTAR