Tantangan UU TPKS: Korban Enggan Laporkan Kasus Kekerasan Seksual

Sifi Masdi

Saturday, 22-10-2022 | 09:40 am

MDN
Koordinator Advokasi Asosiasi LBH APIK Indonesia, Ratna Batara Munti [inakoran]

 

 

Jakarta, Inako

Penerapan Undang-Undang Tindak  Pidana kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak mudah lantaran ada sejumlah tantangan yang mengganjal. Untuk mengetahui apa saja tantangan itu INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) mengadakan riset yang dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.

Diskusi hasil riset penerapan UU TPKS di Royal Hotel Kuningan, Jakarta, Rabu (19/10/2022) [inakoran]
  

 

Hasil riset tersebut kemudian didiskusikan dalam sebuah  pertemuan yang diselenggarakan pada Rabu (19/10/2020) di sebuah hotel di Jakarta. Diskusi dengan tema:  “Policy Dialogue: Membahas Dua Hasil Riset untuk Masa Depan UU TPKS”, menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu yaitu Ratna Batara Munti (Koordinator Advokasi Kebijakan, Asosiasi LBH APIK Indonesia), Dio Ashara Wicaksana (Direktur Eksekutif IJRS), Anna Margret (Direktur CWI), Dian Indaswari (Direktur Yayasan Pulih), Purwarni Prabandari (Managing Editor Tempo English).

 

 

Hasil riset tersebut menyebutkan sejumlah tantangan dalam menerapkan UU TPKS yang baru disahkan pada awal tahun 2022. Beberapa diantaranya, adalah kekerasan seksual merupakan imbas dari budaya patriarki. Akibatnya, korban kekerasan yang sering dialami oleh kaum perempuan enggan melaporkan kepada aparat penegakan hukum. Kemudian secara kuantitatif korban kekerasan seksual lebih banyak terjadi di lingkungan keluarga.

Selanjutnya dalam tingkat yang lebih luas negara tampaknya membiarkan pelanggengan budaya patriaki pada istrumen hukumnya. Hal ini tampak dalam memberikan perlindungan hukum yaitu dimana pelaku mendapatkan perlindungan yang lebih. Sementara di sisi lain perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual yang lebih banyak dialami kaum  perempuan sangat terbatas.

Kemudian dalam situasi khusus konflik dan bencana tampaknya bahwa  pengaturan posko pengungsi tidak memperhatikan aspek keamanan bagi perempuan dan anak agar terhindar dari kekerasan seksual.

 

 

Hal yang sama juga terjadi pada upaya rehabilitasi pelaku. Hasil riset menunjukkan bahwa hakim, kejaksaan, Kementerian Sosial, dan Kementerian Kesehatan tidak memiliki acuan dalam menyelenggarakan rehabilitasi pelaku.

Dari sejumlah tantangan tersebut disimpulkan bahwa upaya pencegahan tindak kekerasan seksual tidak akan efektif, kalau semua upaya pencegahan yang dilakukan tidak menyasar pada akar masalah budaya patriarki.

 

 

 

 

 


 

 

KOMENTAR