TUKANG SURVEY DAN TUKANG SIHIR

Hila Bame

Tuesday, 24-10-2023 | 12:37 pm

MDN

 

Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan

JAKARTA, INAKORAN

Sejatinya kegiatan survey opini publik adalah produks ilmu pengetahuan mutakhir dapat diandalkan secara methodologis untuk merekam "kehendak" publik dan memotret "pothoshot" preferensi pilihan politik pemilih.

Akan tetapi pada level tertentu kerja lembaga survey bisa "jatuh"  ibarat kerja politik para "tukang sihir" di era rejim politik Fir un Mesir kuno. Piawai membalik balikkan fakta dengan topeng methodologi ilmyah. Harry J. Benda menyebutnya "pengkhianatan intelektual".

Publik tidak boleh membiarkan lembaga survey mengeksploitasi ruang media "seenaknya" menyajikan angka angka survey dengan narasi manipulatif dan culas.

Tanpa gugatan publik secara "keras" lembaga survey bukan sekedar potensial menggiring bahkan dapat "menyesatkan" opini publik dan potensial pula menjadi alat legitimasi atas kemungkinan rencana curang dalam pemilu.

Dalam perspektif Prof. Ronnie Higuiti, pakar IT, statistik dan guru besar UI produks survey "tidak layak dipercaya" jika tidak transparan ke publik dalam lima hal, yaitu tentang sumber pendanaan, sampling responden, methodologi sampling, pihak yang ambil sampling dan post audit pendanaan.

Dengan kata lain produks hasil survey ibarat produks makanan tidak layak  "dikonsumsi" publik, tidak memenuhi prinsip sertifikat "halal" jika hanya menyajikan hasil survey ke publik tanpa transparan ke publik dalam lima hal di atas.

Di luar hal hal bersifat prinsip di atas lembaga survey cenderung manipulatif dalam menarasikan produks hasil survey di media publik :

Pertama, dalam kasus hasil survey  LSI Deni JA dan survey "Parameter Politik" terkait temuan survey mereka (September 2023) tentang preferensi "pemilih NU" dalam pileg dan pilpres 2024 cenderung menyudutkan PKB dan Cak Imin seolah olah tidak diminati "pemilih NU".

Unsur "manipulatif" kedua survey di atas tidak menjelaskan tentang siapa yang disebut "pemilih NU" dalam definisi survey mereka. Perbedaan definsi tentang "pemilih NU" apakah jaringan sosial pesantren NU atau sekedar penyematan "budaya keagamaan" seperti "tahlilan"  jelas akan berbeda out put nya.

Kedua, hasil survey bersifat "photoshoot", gambaran saat survey dilakukan bukan potret hasil pemilu. Di dalamnya terdapat variabel "swing voters" dan "undersided voters", dua variabel pemilih yang berpotensi berpindah pilihan dan menentukan pilihan di fase akhir tidak terekam dalam survey.

Ketiga, hasil  survey adalah potret 100% pemilih datang ke TPS. Survey tidak bisa membaca berapa persen pemilih yang sudah menentukan pilihan politik temuan survey tapi  tidak akan datang ke TPS.

Sayangnya lembaga survey tidak menarasikan "kuat kuat" tiga variabel di atas, sengaja ditutupi untuk menggiring dan membentuk persepsi publik apa "maunya" lembaga survey sesuai pesanan "bohir" di belakangnya.

Itulah manipulasi survey dulu terjadi pada delapan lembaga survey "ternama" gagal total memotret pilkada.DKI Jakarta 2017 , selalu memposisikan pasangan Anies Sandi paling buncit dalam survey tapi menjadi pemenang pilkada DKI Jakarta 2017.

Maka hati hati dan waspadalah dengan topeng topeng intelektual lembaga survey.


Wassalam.

 

TAG#ADLAN

199070998

KOMENTAR