Amroni,Si,P dan Proyeksi Target PKB 2024 di Indramayu

Oleh. : H. Adlan Daie
Pemerhati politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Amroni, S. IP, ketua DPC PKB kab Indramayu, sarjana ilmu politik - dalam diskusi berdua bersama penulis hingga "larut malam" (selasa, 8/5/2023) sangat paham bahwa kerja politik elektoral bukan kerja "tukang politik".
Ia mendiskusikan secara "meaning full" tentang peluang merebut potensi pemilih baru dengan desain kerja politik "metropolis", gagasan ketua DPW PKB Jawa Barat, Saeful Huda, yakni kerja politik berbasis pilihan issu terkait interest interest publik.
Inilah ijtihad politik untuk perluasaan "insentif" elektoral baru. Dengan kata lain jika PKB hanya bertumpu pada mindset kerja "tukang politik" secara "tradisional" seolah olah kontestasi pileg sekedar kompetisi antar caleg internal ibarat kontestasi "pilkades" tanpa penetrasi branding kerja mesin partai - penulis berkesimpulan "sulit" bahkan "sangat sulit" bagi PKB mampu memenuhi target politik dua kursi/dapil.
Penulis mencoba meletakkan urgensi pendekatan politik "metropolis" di atas dalam adaptasi varian varian sosial "warga NU". Pasalnya basis sosial inilah basis utama daya tumpu elektoral PKB, partai secara "recognited" dalam branding memori publik didirikan ormas islam NU, mustahil diabaikan.
Berkali kali penulis membedah varian "warga NU" di Indamayu berdasarkan data survey "indekstrat" (tahun 2020), yaitu :
Pertama, varian "warga NU" dalam definisi jaringan sosial pesantren NU, di Indramayu sebesar 9%. Clifford Gerzt menyebut varian sosial ini adalah kategori pemilih "santri" yang oleh Gus Muhaimin merujuk data survey "litbang kompas" (2021) disebut pemilih "paling loyal" pilihan politiknya terhadap PKB, sulit diganggu bahkan oleh tangan tangan "struktural" NU sekalipun.
Varian sosial "warga NU" dalam definisi ini sebesar 9% di Indramayu telah dilampaui oleh raihan PKB dalam pemilu 2019 sebesar 11% (108 ribu suara) bahkan pernah mencapaii 15,02% (137 ribu) suara dalam pemilu.1999. Ini buah "panjang" dari ekspansi dan "pemapanan" basis NU melalui persebaran sekolah sekolah umum NU dan relatif "kedap" terhadap fluktuasi elektoral.
Kedua varian "warga NU" yang disebut "simpatisan NU". Varian sosial ini sebesar 26% di Indramayu, yakni varian sosial non santri tapi interaksi sosial kegiatannya dekat dengan dengan simpul "santri" misalnya majelis taklim, penyuluh agama, guru madsarah, guru ngaji, komunutas jamaah haji dll.
Varian sosial ini di dalamnya beragam profesi mulai dari petani, oedagang, nelayan dll tapi kuat ikatan "taat agama"nya minimal konsisten "sholat jum at" menurut parameter sosiologis Prof. Abd Munir mulkhan dalam bukunya "Runtuhnya politik santri" (1992).
Dalam varian sosial ini gagasan pendekatan politik metropolis dapat diintensifikasi misalnya setiap caleg di dirive "beban" merawat kelompok majelis taklim dan lain lain dalam proporsi berimbang hingga level desa di tengah "longgarnya" daya cengkram rejim berkuasa di Indramayu saat ini.
Maka dengan proyeksi mampu minimal meraih target mininal 7% dari sebesar 26% dari varian sosial NU ini secara akumulatif ditambah raihan pemilih dari pemilih "tetap'" pada varian pertama di atas PKB akan mampu meraih 18% suara atau dalam konversi raihan 11 hingga 12 kursi.
Ketiga, varian "warga NU" disebut "NU kultural" atau dalam istilah penulis "NU minimalis", dikategorikan sebagai "warga nu" karena pengamalan tradisi sosial NU seperti tahlilan, ziarah kubur dll. Bagi "warga nu" dalam varian sosial ini tradisi tahlilah dan ziarah kubur tidak dipahami sebagai "identitas sosial" nu melainkan tradisi "slametan" dan "monggahan" masyarakat Jawa dari warisan leluhur.
Karena itu varian sosial ini dalam kategori pemilih menurut penelitian Clifford Gert adalah pemilih "abangan", loyalis pemilih partai nasionalis dan "ogah" memlilih partai berbasis ormas islam apapun kecuali jika hendak melakukan ekspremen politik menggarap varian sosial ini tentu dengan resiko "alot, mahal ongkos dan minimalis out put hasil elektoralnya.
Pertanyaannya mampukah Amroni mengorkestrasi kerja politik "metropolis" dalam konstruksi tiga varian sosial "warga nu" di atas dengan "mendrive" branding kerja mesin partai dan kerja caleg secara TSM, terstruktur, sistemik dan massif dalam proyeksi PKB Indramayu meraih 12 kursi DPRD dalam pemilu 2024?
Jawabannya memang tidak sederhana dan membutuhkan diskusi detil tentang kisi kisi "rute" jalan pemenangan dan desain eksekusinya di akar rumput akan tetapi secara simpel target tersebut dapat dicapai mengutip kaidah fiqhiyah "ma la yatimmul wajjb illa bihi fa hua wajib", sebuah target pasti tercapai apabila syarat syarat "wajib" kerja politik turunannya terpenuhi.
Di sinilah tantangan yang dihadapi Amroni dan "think thank" LPP DPC PKB Indramayu dalam menjawab kebutuhan sejarah PKB Indramayu 2024 dan kepada para caleg bersiaplah dalam "area" pertarungan melelahkan menjadi bagian penting bagi jalan pemenangan PKB.
KOMENTAR