Benarkah Jika Anies Semakin “di-Bully” Bakal Makin Disukai?

Hila Bame

Tuesday, 21-09-2021 | 15:02 pm

MDN

 

Oleh: Andre Vincent Wenas

JAKARTA, INAKORAN

Tergantung kasus atau konteks dari kasus itu.

Kata beberapa rekan yang bilang begini, “Tuh lihat, dulu Jokowi juga di-bully terus dan akhirnya malah jadi presiden.”

Duh, sampai sekarang Jokowi juga masih di-bully terus kok, dan sampai sekarang ia pun masih tetap jadi presiden. Bahkan, lantaran prestasi kerja nyatanya, Jokowi malah diwacanakan oleh sementara pihak untuk periode ketiganya.

Sekali lagi, Jokowi diwacanakan untuk terus menjabat presiden lantaran prestasi kerja nyatanya. Bukan semata-mata gara-gara di bully.

SBY katanya punya strategi ‘playing-victim’ yang canggih demi menarik simpati publik, tapi ia lupa bahwa publik bukanlah simpanse yang bisa dikibulin berkali-kali. 

Eh… bukankah simpanse saja bakalan tidak simpati lagi kalau dibohongin terus-terusan?

“You can fool some of the people all of the time, and all of the people some of the time, but you cannot fool all of the people all of the time.” Begitu pesan dari Abraham Lincoln yang termasyhur itu.

Jadi, to the point saja, lantaran rekan tadi memberi contoh kasus pem-bully-an Jokowi versus kasus Anies, maka mari kita lihat perbedaan mendasar dari kedua kasus itu ya.

Jokowi sarat dengan prestasi kerja nyata, sedangkan Anies sarat dengan perkataan tanpa prestasi nyata yang bisa dirasakan faedahnya oleh rakyat. 

Kasus pem-bully-an Jokowi adalah upaya pembohongan publik, hoaks, dan propaganda post-truth yang berupaya menjegal arus besar hati nurani rakyat yang sudah muak dengan mereka yang kerap ‘playing-victim’ demi menarik simpati.

Sedangkan kasus Anies jelas sekali bedanya. Kerja mulut tanpa kenyataan prestasi di lapangan membuat publik pada akhirnya bisa melihat dan merasakan realitas yang sebenar-benarnya. 

Gimmick soal macam-macam monumen unfaedah (getah-getih, gabion, peti mati, sepeda, sampai yang terakhir soal sepatu), semuanya lenyap dalam sekejap, akhirnya membuat nalar publik berontak. Apa-apaan sih ini?

Waktulah yang telah menggiring kenyataan yang sebenar-benarnya naik ke permukaan. Banyak tabir kebohongannya yang akhirnya terkuak dengan sendirinya. Nalar sehat dan waras perlu waktu juga untuk mengunyah dan mencerna realitas yang sesungguhnya.

Ternyata ia cuma pepesan kosong. Kabut post-truth dari propaganda ayat-mayat semakin pudar tertiup angin kejujuran yang sejatinya dihembuskan oleh jutaan hati nurani yang mendambakan kebenaran yang sejati.

Begitulah latar belakang mendasar yang membedakan kasus pem-bully-an Jokowi dulu (bahkan sampai sekarang) dengan upaya publik membongkar kebohongan Anies. 

Pada kasus pem-bully-an Jokowi pada galibnya adalah upaya propaganda para mafia untuk menutup-nutupi prestasi kerja nyatanya dengan kabar bohong yang terus menerus dibombardir lewat berbagai media.

Sedangkan untuk kasus Anies, agak kurang tepat untuk disebut sebagai pem-bully-an. Lantaran apa yang saat ini sedang dikejar oleh kader PDIP dan PSI di parlemen Jakarta adalah upaya mengungkap (menyingkap) kebenaran. 

Misalnya soal interpelasi yang intinya adalah hak bertanya, dan kewajiban (keharusan) untuk dijawab formal oleh Anies. Demi apa? Demi menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Intinya: upaya mengungkap kebenaran!

Apakah ada yang takut dengan kebenaran?

Pesan yang mengatakan, “Anies Pembohong” adalah berdasar pada  kenyataan bahwa ia memang telah berbohong untuk banyak hal. 

Soal event Formula-E (uang muka, commitment fee, dll), soal gelapnya pengelolaan duit rakyat di APBD, soal reklamasi, soal DP Nol Rupiah atau Nol Persen (tak jelas lagi), soal pohon Mahoni, soal pembelian lahan dan berbagai kebohongan lainnya yang gampang ditelurusi lewat google. (Masukan saja kata kunci “gubernur pembohong” di mesin pencari google, dan lihat hasilnya). 

Singkatnya, Jokowi di-bully pakai hoaks (kabar bohong) untuk menutupi realitas (kabar yang benar) tentang prestasi kerjanya. Sedangkan Anies “diadili” oleh publik lewat kampanye menyuarakan kebenaran dan dalam rangka menyampaikan jeritan hati nurani rakyat yang telah melihat dan merasakan sendiri kebohongan demi kebohongannya.

Dalam teori komunikasi klasik ‘agenda-setting’ atau juga ‘hypodermic-needle theory’ dipercayai bahwa pesan yang telah dicantolkan atau disuntikkan ke benak orang, pada saatnya akan jadi konsiderasi dari penerima pesan dalam menentukan sikapnya. Maka,

“Proclaim the truth, and do not be silent through fear.” Begitu pesan perjuangan dari St. Catherine Sienna.

Jadi terus nyatakan (proclaim) kebenaran, jangan diam saja lantaran takut ini dan takut itu. Kita percaya kok pada logika publik yang sehat dan waras. Mereka hanya perlu waktu untuk mengunyah dan mencerna realitas kebenaran. Lagi pula,

“It is the responsibility of intellectuals to speak the truth and to expose lies.” Kata Noam Chomsky. Bahkan jadi kewajiban kaum intelektual untuk menyuarakan kebenaran dan sekaligus menyingkap segala kebohongan.

Pada akhirnya kita semua bisa tersadarkan, bahwa,

“A lie doesn’t become truth, wrong doesn’t become right, and evil doesn’t become good, just because it’s accepted by a majority.” – Booker T. Washington.

Percayalah, pada akhirnya kebenaran akan menang. Ia (kebenaran itu) hanya perlu kita semua untuk terus mengungkapkan dan menyatakannya, dengan gamblang! 

Anies pembohong. Itu saja.

21/09/2021
Andre Vincent Wenas, pemerhati ekonomi-politik.

TAG#ANDRE WENAS, #INAKORANCOM

198731930

KOMENTAR