Berkah Atau Beban Kursi Wakil Bupati?

Timoteus Duang

Saturday, 13-05-2023 | 18:02 pm

MDN
H. Adlan Daie [Pemerhati politik dan sosial keagamaan]

 

JAKARTA, INAKORAN.COM

Oleh: H. Adlan Daie [Pemerhati politik dan sosial keagamaan]

 

Pilihan mengisi kursi kosong Wakil Bupati Indramayu yang ditinggalkan Lucky Hakim bukan soal "siapa" yang hendak dinominasikan, melainkan harus diletakkan dalam timbangan publik apakah menjadi berkah atau malah justru menjadi beban politik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah terutama dalam konteks relasi politik antara eksekutif dan legislatif.

Wakil bupati baru kelak jika dipandang perlu (apalagi hanya "nebeng" tidak dipilih rakyat) harus menjadi "berkah" bukan menambah beban terkurasnya "uang rakyat" untuk membiayai  "eksistensi" wakil bupati baru—mengutip kalimat Ous Dialambaka dalam sebuah tulisannya "Mulai nguap, kencing, beol, ngorok dan marah-marah", semua biaya ditanggung dalam APBD. Eunaaak tenaaaaan!

Siapa pun tentu berhak bahkan boleh berambisi sampai "di ubun ubun kepala" sekalipun untuk memburu kursi kosong Wakil Bupati Indramayu sepanjang direkomendasikan tiga partai pengusung (PDIP, Gerindra, dan Nasdem), disetujui dan ditetuskan bupati ke DPRD untuk dipilih dalam mekanisme yang telah diatur dalam tata tertib DPRD. Demikianlah regulasinya.

Memang tidak sederhana dan pasti rumit mempertemukan titik temu kepentingan tiga partai pengusung dan bupati tentang "siapa" yang hendak dinominasikan mengisi kursi kosong wakil bupati tersebut.


Baca juga: 

Prabowo di Antara Cawapres Cak Imin dan Airlangga


 

Akan tetapi kerumitan tersebut mudah "disiasati" oleh kemampuan loby di level struktur partai di tingkat pusat dan sudah bukan rahasia umum "tidak gratis" untuk mendapatkan rekomendasi persetujuan.

Dalam spirit desentralisasi politik ototomi daerah  "political game" dan kemampuan loby mendapatkan dukungan "dari atas" dan rekayasa mobilisasi dukungan dari bawah tidak memadai lagi.

Dalam prinsip "democratic accountability" atau prinsip akuntabilitas demokratis yang dikonstruksi Francis Fukuyama cara cara rekayasa dan mobilisasi di atas masuk dalam katergori "uncivil politics", militerisasi dan "premanisasi" proses politik sipil.

Spirit desentralisasi politik otonomi daerah lebih dari sekedar itu melainkan memahami ambang batas kepantasan dan "rasa" penerimaan suasana kebatinan publik.

Dalam falsafah Jawa dikenal diktum "ojo rumongso bisa" atau jangan hanya "merasa bisa" melainkan "bisa rumongo", yakni "bisa merasa" dan dalam falsafah politik Jawa yang lain "ngono ya ngono neng ojo ngono", ambisi boleh tapi "cara" meluapkan ambisi jangan memuakkan "rasa" publik.


Baca juga:

Membaca Buku 'Raden Saleh Pangeran dari Timur' Bersama Cemara 6 Galeri


 

Sejarah peradaban politik dunia dan pengalaman historis bangsa kita telah mengajarkan kita bahwa:

Pertama, ketika dulu Fira'un melampaui ambang batas normal rekayasa dukungan terhadap kuasa politiknya justru Fira'un seketika cepat "terjungkal" dari kursi kuasanya betapa pun beton beton politik mem-back up-nya.

Kedua, demikian pula dalam sejarah politik kita ketika Bung Karno dukungan politiknya melimpah hingga ditetapkan menjadi presiden "seumur hidup" hanya dalam waktu singkat justru "jatuh".

Ketiga, pun ketika Pa Harto melimpah kebulatan tekad rekayasa dukungan politiknya justru hanya tiga bulan tiba tiba "tsunami" politik tak disangka-sangka merontokkannya.

Inilah pelajaran berharga dalam konteks mengisi jabatan wakil bupati Indramayu bahwa siapa pun yang berambisi bahkan sampai "ke ubun ubun kepala" sekalipun hendaknya "bercermin diri" dan meletakkan diri dalam ambang batas "rasa" kepantasan dan kepatutan publik.


Baca juga

Pengamen Band Rilis Single “Percayalah Cinta”, Tentang Kesetiaan pada Pasangan yang Sakit


 

"Fisik" publik mungkin mudah ditaklukkan tapi "rasa" kepatutan publik selalu menemukan jalannya sendir. 

Berulang ulang sejarah politik membuktikannya termasuk kasus "Sambo" betapa pun ia nyaris "sempurna" memegang kendali perangkat hukum justru dibanting sejarah ke "laut nista" akibat ambisi kuasanya "unlimited".

Penulis percaya baik tiga partai pengusung, bupati dan DPRD sebagai "stakeholder" dalam proses pengisian dan penetapan wakil bupati—memiliki kearifan politik dalam menimbang maslahat dan berkah atau  "beban" dari pilihan wakil bupati yang hendak mengisi kursi  kosong yang ditinggalkan Lucky Hakim.

Di titik inilah "akal sehat" politik harus bekerja dan bukan kerja "akal akalan politik".

Setiap "akal akalan politik" ibarat air kotor di hulu sungai pasti hanya akan mengalirkan air kotor ke hilir hilir ruang publik dan dampaknya pasti "mafsadat" dan merusak  kesehatan suasana kebatinan publik pula.

Wassalam.

 

KOMENTAR