BI Tak Siapkan Antisipasi Khusus Hadapi Krisis Turki

Sifi Masdi

Monday, 13-08-2018 | 08:17 am

MDN
Bank Indonesia [ist]

Jakarta, Inako

Krisis Turki nampaknya tak membuat Bank Indonesia (BI) khawatir. BI bahkan tidak melakukan antisipasi khusus. “Yang BI lakukan adalah konsisten dengan kebijakan yang sudah dijalankan selama ini,” kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Nanang Hendarsyah, Minggu (13/8).  

Menurut Nanang, dampak krisis Turki paling besar akan terjadi di Euro. Pasalnya, banyak eksposure lembaga keuangan Eropa dalam sistem keuangan Turki.

“Adapun dampak bagi mata uang negara-negara berkembang karena Turki masuk basket dalam portofolio emerging market,” ujar Nanang.

Jika dicermati, sebelum libur panjang bulan Mei sampai Juni lalu, lira turki terdepresiasi tajam. Dampaknya hanya sekejap bagi pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Menurut Nanang, ini berbeda dengan efek pemulihan ekonomi AS yang ditandai dengan  penaikan suku bunga acuan Ameerika Serikat srta eskalasi perang dagang antara AS dengan China yang merembet ke negara-negara lain. “Dampaknya cukup lama,” ujar dia.  

BI yakin efeknya krisis yang terjadi Turki juga tak lama seperti halnya dampak kenaikan bunga AS serta perang dagang, lantaran para investor sudah bisa membedakan negara-negara berkembang yang mampu mengelola keuangannya dengan konsisten, hati-hati dibanding negara-negara yang pengelolaan ekonominya lemah.

“Dan Turki dan Argentina merupakan the two fragile yang sudah terdislokasi dari emerging market besar lainnya spt India, Indonesia, dan Brasil,” ujar dia yakin.  

Parameter yang digunakan sebagai patokan adalah current account deficit Turki dan Argentina yang dalam posisi outlier dari emerging market lainnya.

Sekedar diingat, current account deficit (CAD) kuartal dua Indonesia memang melebar jadi 3% atas produk domestik bruto (PDB). Tapi CAD Turki jauh lebih lebar yakni 5,5%. Defisit anggaran terhadap PDB Turki capai 6%, sedang Indonesia 0,75%.

Meski begitu, BI akan terus memantau dampak krisis Turki. Pasalnya, dampaknya juga terasa. Salah satu indikator yang nampak adalah dollar indeks spot yang naik ke 96,357 di pasar uang New York (13/8). Penguatan dollar AS akan berimbas ke rupiah.

“Cuma seberapa besar pengaruhnya, kami berharap tak signifikan dan tak lama,” ujar Nanang. Namun, jika melihat suplai dan kebutuhan valas di pasar keuangan kita saat ini, menurut Nanang, kondisinya sudah lebih baik.

Berbeda dibanding Mei dan Juni, banyak perusahaan yang mengantisipasi libur panjang sehingga membeli valas untuk kebutuhan impor.

Menurutnya, inflow valas di pasar surat utang negara sudah nampak, hanya semuanya terserap oleh pembelian valas untuk impor. “Tapi mekanisme pasar berjalan lebih smooth sehingga intervensi oleh BI pun relatif lebih kecil,” ujarnya lagi.

 

KOMENTAR