Birokrasi Salah Asuhan

Johanes

Thursday, 13-02-2020 | 07:26 am

MDN
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat, Adlan Daie

Oleh.  : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat


Tertangkapnya Omarsyah dan Wempy Triyono, dua pejabat pelaksana teknis di Dinas PUPR Indramayu oleh KPK adalah contoh telanjang dari potret birokrat salah asuhan. Ongkoham, penulis buku  Runtuhnya Hindia Belanda, sejarawan yang tekun meneliti peran pegawai pemerintah sejak era Hindia Belanda menggambarkan semula pegawai pemerintah  berwatak pangreh praja, yakni profile pegawai priyayi kasta sosial ningrat yang meminta-minta dihormari dan dilayani rakyatnya. 

Pergeseran konseptual dari pangreh praja menjadi pamong praja adalah harapan ideal para pegawai berproses menjadi pengayom dan pelayan bagi rakyat meskipun mentalitas sebagai pangreh praja sangat kuat dalam tampilan fisik dan pergaulan kulturalnya. Ungkapan jika urusan bisa dipersulit kenapa dipermudah gambaran satir tentang bobroknya mentalitas birokrasi yang dipersepsi mayoritas publik dengan kerumitan-kerumitan proseduralnya.

Birokrasi dalam literatur texbook sebagaimana digambarkan Prof. Miftah Thoha dalam bukunya Politik dan Dinamika Kekuasaan dan Mas ud Said dalam bukunya Birokrasi di Negara Birokratis adalah organ pemerintah untuk pelayanan publik bersifat netral secara regulatif dan non afiliasi politik. Di era rezim politik elektoral hari ini perubahan status dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam sistem pemerintahan daerah bersifat otonom bukan sekedar kehilangan marwah netralitasnya melainkan lebih kompleks dari watak kultural  pangreh praja dan pamong praja. 

Nasib ASN baik posisi maupun mutasi jabatannya nyaris sepenuhnya di tangan kepala daerah rezim penguasa politik. Itulah sebabnya ASN selalu rentan ditarik untuk kepentingan politik rezim penguasa dan berperan multi guna. Berperan sebagai pelayan publik ala kadarnya dengan kerumitan prosedural yang di sengaja, berfungsi sebagai pengepul pundi-pundi politik untuk pembuktian loyalitas dan memelihara jabatan yang didudukinya dan tentu saja menjadi tim sukses dalam pemenangan elektoral petahana dengan perencanaan matang dan kemampuan menghindar dari delik aturan yang mengikatnya.

Birokrasi dengan watak payung kepemimpinan politik rezim elektoral di atas meletakkan posisi ASN dalam ayunan salah asuhan. Mereka dengan SDM terdidik dalam public service direduksi peran dan tupoksinya untuk melayani dan mengamankan posisi elektoral kepemimpinan politik dan partai yang diasuhnya. Dari sinilah deviasi dan penyimpangan peran berproses bukan saja dalam hal utak- atik proyek untuk menghimpun pundi-pundi politik melainkan berdampak langsung pada performa pelayanan publik.

Gambaran birokrasi diatas tentu bukan salah ibu mengandung melainkan bapak politik rezim penguasa ambisius salah asuhan. Kewenangan diskresi yang dimiliki kuasa politiknya tidak diinjeksikan untuk menggerakkan performa birokrasi pelayanan publik prima tapi lebih menghitung berapa sumbangsih suara elektoral yang dapat diberikan ke partai asuhannya dengan modus ancaman mutasi dan lain-lain.

Inilah yang menyedihkan dalam birokrasi struktur modern tapi primitif dan rendah peradaban akhlak pelayanan publiknya. Mampetnya arus investasi masuk dan mangkraknya IPM masyarakatnya, antara lain, karena tarikan tali temali birokrasi salah asuhan di atas. Dengan kata lain, rendahnya angka-angka statistik IPM bersifat faktual kuantitatif yang tidak dapat disembunyikan lewat mimbar khotbah-khotbah politik manipulatif dan jualan  visi religius di ruang publik.

Dalam perspektif di atas itulah, siapa pun petahana maupun generasi politik petahana yang disiapkan, di luar hak-hak politiknya sebagai warga negara sesungguhnya sudah kehilangan moralitas politik untuk dipilihnya kembali. Kepemimpinan politiknya tidak memberi manfaat bagi maslahat rakyat yang dipimpinnya sebagaimana tergambar dalam potret IPM masyarakatnya. 

Jika dalam prosesnya petahana terpilih kembali dalam kontestasi politik secara elektoral setidaknya  karena dua hal :

Pertama, birokrasi bukan saja nyaman dalam ayunan salah asuhan melainkan menikmatinya penuh gelora eforia. Sebuah potret birokrasi ibarat mentalitas  kumpulan para abdi dalem di era kerajaan Mataram kuno membungkuk bungkuk menghadap sang raja dengan setoran upeti hasil paksa dari keringat rakyatnya.

Kedua, kealpaan masyarakat sipil dan oposisi politik untuk mengingatkannya bahwa sistem demokrasi politik harus mampu mencegah muslihat birokrasi dari daya guna rezim politik manipulatif. Oposisi politik tenggelam dalam eforia deklarasi dan selfi-selfi politik tanpa ruh resolusi jihad politik untuk membebaskan rakyat dari muslihat-muslihat birokrasi.

Semoga bermanfaat.

KOMENTAR