BPS Pertanyakan Data Kemiskinan yang Digunakan Prabowo

Sifi Masdi

Tuesday, 31-07-2018 | 15:56 pm

MDN
Kepala BPS Suhariyanto [ist]

Jakarta, Inako

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengklaim tingkat kemiskinan di Indonesia naik 50 persen dalam lima tahun terakhir. Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto mempertanyakan data yang digunakan oleh Prabowo tersebut.

"Angka dari mana dulu? Kalau kita ngomong kan harus pakai data," kata Suhariyanto di Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (30/7/2018).

Profil  jumlah penduduk miskin di Indonesia [ist]

 

Sebelumnya, saat pidato di depan para ulama di acara Ijtimak Ulama, di Hotel Peninsula, Jakarta, Jumat (27/7/2018), Prabowo mengklaim Indonesia menjadi tambah miskin dalam lima tahun ini. Hal itu juga ditambah dengan mata uang rupiah yang terus melemah.

Menurut Suhariyanto, pernyataan Prabowo tersebut akan sulit terkonfirmasi jika tidak memiliki data yang jelas. "Cek aja data yang ada. Kalau statement tidak ada datanya agak susah kita konfirmasi," tutur dia.

Berdasarkan data BPS, angka kemiskinan justru turun dalam lima tahun terakhir. Pada 2 Januari 2018 lalu, BPS merilis data kemiskinan penduduk Indonesia per September 2017. Dari data itu, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2017 tercatat mencapai 26,58 juta orang atau sekitar 10,12 persen dari 268 juta lebih penduduk.

Selain itu, pada bulan Maret 2018, BPS mencatat terjadi penurunan angka kemiskinan yang cukup siginifikan. Angka kemiskinan mencapai 9,8 persen. Hal ini merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah Indonesia kemiskinan berada di level single digit.

Pada Maret 2018, persentasenya sebesar 10,64 persen. Jumlah orang yang masuk kategori miskin pun menurun dari 27,7 juta jiwa pada Maret 2017 menjadi 25,95 juta jiwa pada Maret 2018.

Namun, ada pihak yang menyebutkan bahwa fakta di lapangan, jumlah orang miskin lebih banyak dari hasil statistik BPS.

Ketum Gerindra Prabowo Subianto [ist]

 

1. Berpatok ke Bank Dunia

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, pihaknya berpatokan pada metode yang digunakan Bank Dunia untuk menentukan garis kemiskinan. Dibandingkan September 2017 lalu, ada kenaikan 3,63 persen garis kemiskinan dari Rp 387.160 per kapita perbulan menjadi Rp 401.220 per kapita perbulan.

Angka itu didapatkan dengan menggunakan perkiraan konsumsi yang dikonversikan ke dollar AS dengan menggunakan kesetaraan daya beli per hari, bukan dengan nilai tukar dollar AS resmi. Angka konversi tersebut menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa, di mana dengan jumlah tersebut dapat dibeli sebesar 1 dollar AS di Amerika Serikat.

Adapun batasan kemiskinan internasional yang digunakan oleh Bank Dunia yakni kesetaraan daya beli (purchasing power parity/PPP) sebesar 1,9 dollar AS sebagai batas extreme poverty alias sangat miskin.

Sementara perkiraan konversi 1 dollar AS dengan baseline 2011, pada 2016, setiap kesetaraan daya beli dalam 1 dollar AS sebesar Rp 4.985,7.

2. Garis Kemiskinan Nasional

Kemudian bergeser ke posisi Garis Kemiskinan Nasional (GKN) terhadap kesetaraan daya beli per dollar AS. Tahun 2016, GKN sebesar Rp 364 527 perkapita per bulan atau setara 2,44 dollar PPP per hari.

Tahun 2018, GKN sebesar Rp 401.220 perkapita per bulan atau setara 2,50 dollar AS PPP per hari. Garis kemiskinan nasional pun berbeda dengan masing-masing daerah.

Misalnya, dibandingkan GKN nasional, GKN DKI Jakarta lebih tinggi yakni Rp 593.108. Sementara Nusa Tenggara Timur lebih rendah yakni Rp 354.898. GKN dipengaruhi oleh harga komoditas pangan dan nonpangan terhadap daya beli masyarakat.

3. Bukan dibagi per hari

Suhariyanto mengatakan, hitung-hitungannya bukan dengan membagi pendapatan Rp 401.220 per bulan menjadi Rp 13.374 per hari. Ada faktor lain yang perlu diperhatikan, yakni jumlah anggota keluarga.

"Kalau dibagi 30 hari, saya rasa tidak relevan. Saya sarankan dikalikan anggota rumah tangga. Kan yang dibutuhkan per rumah tangga," kata Suhariyanto.

Biasanya, kata dia, keluarga miskin memiliki anak lebih banyak. BPS mendapat angka 4,5 rata-rata anggota keluarga. Jadi, pendapatan perkapita per bulan tersebut dikalikan dengan 4,5. Didapatkan hasil Rp 1,8 juta. Nilai tersebut masih di bawah upah minimum sehingga termasuk dalam kategori miskin. 

"Kan kita bukan bicara hidup layak ya. Tapi kan orang miskin, yang memang dia the lowest," kata Suhariyanto.

Demografis kota tentu berbeda dengan desa. Angka kemiskinannya pun berbeda. Tingkat kemiskinan tertinggi berada di kawasan Papua sebesar 27,74 persen dan Papua Barat sebesar 23,01 persen. Nusa Tenggara Timur menempati posisi tiga tertinggi dengan 21,34 persen.

Sementara tingkat kemiskinan terendah ditunjukkan oleh DKI Jakarta sebesar 3,57 persen dan Bali sebesar 4,01 persen.

4. Faktor turunnya kemiskinan

Adapun penyebab turunnya tingkat kemiskinan dibandingkan September 2017 yakni:

1. Inflasi umum pada periode September 2017-Maret 2018 sebesar 1,92 persen.

2. Rata-rata pengeluaran perkapita perbulan untuk rumah tangga yang berada di 40 persen lapisan terbawah selama periode September 2017-Maret 2018 tumbuh 3,06 persen.

3. Bantuan sosial tunai dari pemerintah tumbuh 87,6 persen pada Triwulan I 2018, lebih tinggi dibanding Triwulan I 2017 yang hanya tumbuh 3,39 persen.

4. Program beras sejahtera (Rastra) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) pada Triwulan I telah tersalurkan sesuai jadwal.

5. Nilai Tukar Petani (NTP) pada Maret 2018 berada di atas angka 100, yaitu 101,94.

6. Kenaikan harga beras yang cukup tinggi yaitu mencapai 8,57 persen pada periode September 2017-Maret 2018 disinyalir mengakibatkan penurunan kemiskinan menjadi tidak secepat periode Maret 2017-September 2017.

 

 

 

KOMENTAR