Fenomena Dedi Mulyadi Menembus Sekat Sekat Politik Jawa dan Jakarta

Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
JAKARTA, INAKORAN
Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat saat ini dalam "teropong" pengamat politik Profesor Burhanudin Muhtadi, pemilik lembaga survey "Indikator Politik" adalah kepala daerah paling populer dan paling banyak diperbincangkan publik di garis orbit politik Nasional.
Ini sebuah fenomena baru dalam lanskap sejarah politik di Indonesia. Dedi Mulyadi dari kultur etnis "sunda", tidak memimpin provinsi "ibukota" negara mampu menembus sekat sekat dominasi politik Jawa dan epicentrum kekuatan magnit politik Jakarta.
Sejarah politik di Indonesia dalam kajian para ilmuan antropologi politik tidak lepas dari dominasi politik Jawa dan epicentrum sumber sumber kekuasaan di Indonesia, yaitu "Jakarta", sebuah provinsi titik pusat perhatian publik secara Nasional.
BACA:
Pemerintah Bakal Tanggung Biaya Pengobatan Korban Keracunan Makanan MBG di Bogor
Naiknya Susilo Bambang Yudoyono dan Jokowi ke pentas politik Nasional tidak lepas dari relasi etnisitas bahwa keduanya "orang Jawa", populasi etnis terbesar di indonesia sebesar 40, 67% dari total populasi penduduk di Indonesia.
Mengorbitnya Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan dalam "kadar" tertentu Anies Baswedan dalam spektrum politik Nasional dengan gestur politik masing masing selalu dikaitkan dengan effect "kejawaan" dan epicentrum politik Jakarta.
Bahkan meskipun tidak dipilih secara langsung oleh rakyat "kemapanan" kekuasaan politik Bung Karno di era Orde Lama dan Soeharto di era Orde Baru tidak lepas dari dominasi simbol simbol politik Jawa dan penguasaan epicentrum politik Jakarta.
Itulah realitas sosiologis poltik di Indonesia hingga menjadi semacam "mitos" jika hendak menguasai Indonesia maka kuasailah "Jawa" dan menguasai Jawa dimulai dari menguasai Jakarta, pusat epicentrum politik di Indonesia.
Dedi Mulyadi adalah fenomena politik "pengecualian" dari mitos politik di atas yang membentuk tradisi dan lanskap sejarah politik di Indonesia.
Ia berlatar belakang etnis Sunda begitu kental, sebuah etnis berpusat di provinsi Jawa Barat dengan populasi 15,1% dari total populasi di Indonesia. Ia juga tidak memimpin Jakarta, pusat epicentrum politik nasional.
Inilah fenomena politik Dedi Mulyadi dalam spektrum politik Nasional saat ini menandai sebuah pergeseran sosiologi politik di mana relasi etnisitas Jawa dan dominasi epicentrum politik Jakarta mulai tidak kokoh lagi dalam alam pikiran rakyat Indonesia.
Ia mendapatkan atensi publik dengan trend positif dalam persepsi publik begitu tinggi di jagat media sosial, ia menjadi tokoh politik pertama non Jawa dan non Jakarta mampu menembus sekat sekat politik Nasional .
Tentu perlu penelitian, riset dan survey opini publik dalam skala Nasional untuk menjawab fenomena politik di atas dalam konteks memahami fenomena politik Dedi Mulyadi begitu "menyala" di garis orbit politik Nasional saat ini.
Dalam konteks media sosial harus diakui, suka tidak suka, Dedi Mulyadi saat ini bukan sekedar memimpin Jawa Barat tapi juga memimpin "algoritma digital" dalam platform media sosial.
Setiap kali membuka media sosial baik Instagram, TikTok atau YouTube wajah yang muncul bukan lagi seleblitas, influencer atau "tokoh politik" Nasional seperti menteri, ketua umum partai dan lain lain tapi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
Di Instagram jumlah pengikut Dedi Mulyadi mencapai 3 juta dengan total 6.683 unggahan sementara di channel "YouTube" jumlah pelanggan atau "subsriber" mencapai 7 juta dengan sekitar 4 ribu vidio yang diunggah (cnn, 30/4/2025).
Ia dominan menguasai jagat "algoritma digital", tidak sekedar mewakili etnis Sunda di mana ia menjadi bagian penting dalam konteks etnis dan provinsi Jawa Barat yang dipimpinnya.
Tapi melampaui keragaman etnis, wilayah, agama dan warna warni afiliasi politik dalam spektrum politik di Indonesia dengan dukungan massif dan aktif dari "warganet" secara organik dan militan.
Dalam hepotesis penulis kunci kekuatan branding politik Dedi Mulyadi hingga ia menembus sekat sekat dominasi politik Jawa dan epicentrum Jakarta ia berhasil menggabungkan elemen elemen marketing politik dengan meletakkan kekuatan nilai integritas, teladan kepemimpinan dan maslahat kebijakan dalam strategi komunikasi politik.
Ia tidak sekedar piawai bermain konten di media sosial untuk semata mata membranding citra politiknya tetapi ia hadir dengan keberanian membongkar politik anggaran selama ini lebih banyak dinikmati belanja rutin para pejabat digeser secara signifikan untuk belanja publik dengan segala pro kontra implementasi kebijakannya.
Itulah tampaknya daya magnit Dedi Mulyadi di ruang media sosial hingga ia akseptabel dan populer dengan trend positif dalam persepsi publik begitu tinggi dalam skala Nasional nyaris "menenggelamkan" tokoh tokoh politik lain dan mulai diprediksi akan menjadi salah satu "rising" star dalam dinamika kontestasi pilpres 2029 .
Tentu sebagaimana diktum politik Otto Van Bismoch "politics is the art of the possible", politik adalah ruang kemungkinan tak terduga tak terkecuali kemungkinan tentang Dedi Mulyadi dalam konteks kontestasi pilpres 2029 di atas, semuanya adalah ruang kemungkinan di mana jalan takdir politik akan menemukan jalannya sendiri.
Bagi penulis saat ini terlalu dini untuk membaca kemungkinan jalan politik Dedi Mulyadi dalam konteks pilpres 2029 di atas meskipun perbincangan di ruang ruang media sosial tentang kepemimpinan Dedi Mulyadi telah menjadi "trend" lintas provinsi dan makin menyedot perhatian publik secara Nasional.
Saat ini hal terpenting hemat penulis mengawal kepemimpinan Dedi Mulyadi di Jawa Barat secara kritis dan konstruktif untuk "istiqomah" di jalan kepemimpinan politik yang maslahat.
Paling tidak ia bisa menjadi harapan role model kepemimpinan bagi bupati dan wali kota di Jawa Barat untuk sepenuhnya bekerja dalam amanah memajukan kesejahteraan umum dan layanan publik dengan segala resiko resiko politiknya.
Wassalam.
TAG#DEDI MULYADI, #ADLAN
199084883

KOMENTAR