Harga Minyak Dunia Melonjak 2,57%: Dampak Kesepakatan Tarif AS-China

Sifi Masdi

Wednesday, 14-05-2025 | 11:51 am

MDN
Ilustrasi kilang minyak [ist]


 

 

Jakarta, Inakoran

Harga minyak mentah dunia mengalami lonjakan signifikan pada perdagangan Selasa (13/5/2025), didorong oleh membaiknya hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China serta laporan inflasi AS yang lebih rendah dari ekspektasi pasar.

 

Mengutip Reuters, Rabu (14/5/2025), harga minyak mentah Brent ditutup pada level US$66,63 per barel, naik US$1,67 atau 2,57%. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) menguat US$1,72 atau 2,78% ke posisi US$63,67 per barel.

 

Kenaikan ini memperpanjang reli harga dari sesi sebelumnya, di mana kedua acuan utama melonjak sekitar 4%. Katalis utama reli tersebut adalah kesepakatan antara AS dan China untuk memangkas tarif impor secara signifikan selama 90 hari. Kesepakatan ini juga memberikan sentimen positif ke pasar saham AS dan menguatkan dolar.

 

John Kilduff, mitra di Again Capital LLC, menilai bahwa banyak pelaku pasar yang sebelumnya belum masuk kini mulai mengejar momentum. “Kami tidak terlalu terlibat dalam lonjakan harga kemarin akibat sentimen positif dari China, jadi hari ini kami mencoba mengejar. Selain itu, data inflasi hari ini membuka peluang bagi The Fed untuk mulai bertindak,” ujarnya.

 


BACA JUGA:

Harga Emas Antam Naik Rp 2.000 per Gram : Rabu (14/5/2025)

HSHG Bertengger di Zona Hijau, Menguat 1,61%

Harga Minyak Dunia Menguat 1,5%: AS-China Capaki Kesepakatan Soal Tarif


 

Dari sisi makroekonomi, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan bahwa Indeks Harga Konsumen (CPI) hanya naik 2,3% secara tahunan hingga April—laju terendah dalam empat tahun. Data ini mendorong sejumlah bank besar seperti JPMorgan dan Barclays untuk memangkas proyeksi resesi AS dalam waktu dekat.

 

Inflasi yang lebih terkendali memberikan ruang gerak bagi Federal Reserve (The Fed) untuk melonggarkan kebijakan moneternya. Sejak Desember lalu, The Fed mempertahankan suku bunga acuan tetap, karena kekhawatiran bahwa ketegangan dagang akan kembali memicu tekanan inflasi. Kini, prospek pemangkasan suku bunga mulai terbuka kembali.

 

Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group, menilai bahwa seluruh indikator pada hari itu mendukung pergerakan positif harga minyak. “Angka inflasi dan data ekonomi lainnya memberikan dorongan kuat bagi pasar,” jelasnya.

 

Meski pasar sedang diliputi optimisme, ada potensi tekanan dari sisi pasokan. Negara-negara OPEC dan mitra aliansinya (OPEC+) berencana meningkatkan ekspor pada Mei dan Juni. Kenaikan produksi yang dimulai sejak April bahkan diperkirakan melampaui proyeksi awal, dengan tambahan pasokan mencapai 411.000 barel per hari bulan ini.

 

Arab Saudi, salah satu pemain utama OPEC, diperkirakan akan mempertahankan ekspor ke China dalam volume tinggi pada Juni, setelah mencatat rekor pengiriman tertinggi dalam lebih dari setahun. Saat ini, Saudi menjadi pemasok minyak terbesar kedua ke China, setelah Rusia.

 

Di tengah ketidakpastian permintaan minyak mentah, pasar bahan bakar olahan justru menunjukkan ketahanan. Dalam catatan JPMorgan, analis menyoroti bahwa meski harga minyak global telah merosot 22% sejak puncaknya pada 15 Januari, harga produk turunan seperti bensin dan solar serta margin penyulingan tetap relatif stabil.

 

Penurunan kapasitas kilang, terutama di AS dan Eropa, telah memperketat pasokan bahan bakar olahan. Ketergantungan pada impor pun meningkat, membuat pasar rentan terhadap lonjakan harga jika terjadi gangguan operasional atau pemeliharaan tak terduga.

 

 

KOMENTAR