Harga Minyak Dunia Menguat: Dipicu Sanksi terhadap Rusia
Jakarta, Inakoran
Harga minyak dunia kembali mencatat penguatan pada perdagangan Rabu (19/11/2025) seiring meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap dampak sanksi Barat terhadap aliran minyak Rusia serta sinyal politik baru dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terkait pemilihan Ketua The Federal Reserve (The Fed) yang baru.
Mengutip Reuters, harga minyak Brent naik US$0,69 atau 1,07% ke posisi US$64,89 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat US$0,83 atau 1,39%, menembus level US$60,74 per barel.
Pada sesi sore, kontrak WTI sempat melonjak lebih dari US$1 hingga mencapai titik tertinggi harian di US$60,92 per barel, setelah Trump mengumumkan dimulainya proses wawancara kandidat Ketua The Fed. Selama ini, Trump dikenal vokal mengkritik Ketua The Fed saat ini, Jerome Powell, karena mempertahankan suku bunga di posisi stabil yang dinilai terlalu tinggi.
Menurut John Kilduff, mitra di Again Capital, perkembangan ini memberikan dorongan positif bagi pasar.
“Cukup jelas tipe figur seperti apa yang akan dibawa Trump untuk posisi tersebut. Itu memberi dorongan risk-on,” ujarnya.
BACA JUGA:
Rekomendasi Saham Pilihan: Rabu (19/11/2025)
Harga Emas Antam di Pegadaian Turun Rp32.000 Per Gram: Rabu (19/11/ 2025
Harga Minyak Global Melemah, Pasar Menanti Laporan Surplus Pasokan Dunia
Suku bunga yang lebih rendah umumnya mendorong aktivitas ekonomi dan meningkatkan permintaan minyak, sehingga mampu mengangkat harga.
Di sisi lain, pasar juga mencermati efek sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat pada Oktober lalu terhadap perusahaan energi besar Rusia, seperti Rosneft dan Lukoil. Departemen Keuangan AS menyebut sanksi tersebut telah mulai menekan pendapatan minyak Rusia dan diperkirakan akan menurunkan volume ekspor negara tersebut secara bertahap.
Analis MUFG, Soojin Kim, menilai pelaku pasar kini tengah menimbang dua faktor utama: risiko kelebihan pasokan global dan sanksi yang berpotensi mengganggu arus minyak mentah Rusia.
Sementara itu, Gedung Putih menyatakan Trump bersedia menandatangani legislasi terkait sanksi Rusia, selama ia tetap memiliki otoritas akhir dalam implementasinya. Trump juga menegaskan bahwa Partai Republik tengah menyiapkan RUU yang menjatuhkan sanksi kepada negara mana pun yang berbisnis dengan Rusia, bahkan membuka kemungkinan Iran ikut masuk dalam daftar.
Kilduff menilai rancangan sanksi tersebut termasuk kategori sanksi sekunder, yang dapat memberi dampak nyata terhadap pasokan minyak dunia.
“Risiko hilangnya suplai Rusia menjadi faktor pendukung harga dan kini menjadi perhatian pasar,” katanya.
Pasar minyak sebelumnya sempat terpukul oleh gangguan pengapalan di Pelabuhan Novorossiysk—salah satu jalur ekspor minyak terbesar Rusia—yang dihentikan selama dua hari akibat serangan rudal dan drone Ukraina. Aktivitas baru kembali normal pada Minggu (16/11/2025).
Pengiriman dari Novorossiysk serta terminal Konsorsium Pipa Kaspia yang berdekatan, yang secara total memasok sekitar 2,2 juta barel per hari atau sekitar 2% dari suplai minyak global, sempat terhenti pada Jumat (14/11/2025), memicu lonjakan harga minyak lebih dari 2% saat itu.
Prospek Harga Minyak
Dalam jangka menengah, Goldman Sachs memperkirakan harga minyak akan cenderung melemah hingga 2026 akibat masuknya suplai baru yang membuat pasar tetap dalam kondisi surplus.
Namun, lembaga tersebut tidak menutup kemungkinan harga Brent menembus US$70 per barel pada 2026–2027, jika produksi Rusia mengalami penurunan yang lebih dalam akibat sanksi atau hambatan logistik.
Pelaku pasar kini menantikan rilis data stok minyak AS dari American Petroleum Institute (API) yang dijadwalkan pada pukul 16.30 EDT atau 04.30 WIB, yang akan memberi gambaran tambahan mengenai kondisi permintaan dan persediaan minyak di Amerika Serikat.







KOMENTAR