Harga Minyak Dunia Menguat Tipis:  Pasar Diwarnai Kebijakan OPEC+

Sifi Masdi

Tuesday, 04-11-2025 | 09:25 am

MDN
Ilustrasi kilang minyak [ist]

 

 

Jakarta, Inakoran

Harga minyak dunia bergerak menguat tipis pada perdagangan Selasa (4/11/2025), di tengah kombinasi faktor fundamental: rencana penundaan kenaikan produksi OPEC+ pada awal 2026, melemahnya data manufaktur Asia, dan penguatan dolar AS yang menahan kenaikan harga lebih lanjut.

 

Berdasarkan laporan Reuters, harga minyak Brent naik 12 sen atau 0,2% menjadi US$64,89 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) asal Amerika Serikat naik 7 sen atau 0,1% ke level US$61,05 per barel.

 

Kenaikan harga minyak yang terbatas terjadi setelah OPEC+—koalisi antara negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dan sekutunya—sepakat menambah produksi sebesar 137.000 barel per hari (bph) mulai Desember 2025. Namun, konsorsium tersebut juga berencana menunda peningkatan produksi lanjutan pada kuartal pertama 2026 untuk menjaga keseimbangan pasar.

 

“Dampak negatif dari tambahan produksi pada kuartal ini diimbangi oleh keputusan OPEC untuk menunda peningkatan pasokan setelah akhir tahun,” tulis analis Ritterbusch and Associates dalam risetnya.

 

Morgan Stanley merevisi naik proyeksi harga minyak Brent untuk paruh pertama 2026 menjadi US$60 per barel dari sebelumnya US$57,50, dengan alasan kebijakan OPEC+ yang menahan pasokan serta perubahan dinamika pada aset minyak Rusia.

 

Namun, International Energy Agency (IEA) memperkirakan pasar minyak global bisa mengalami kelebihan pasokan hingga 4 juta bph pada 2026, sementara OPEC menilai kondisi akan tetap seimbang berkat permintaan yang stabil.

 

Di sisi lain, para eksekutif perusahaan minyak Eropa yang hadir di Konferensi Abu Dhabi menilai pasar seharusnya tidak terlalu pesimistis. Mereka menilai permintaan minyak dunia masih solid, terutama di negara berkembang.

 

Menurut analis RBC Capital Markets, Rusia tetap menjadi faktor ketidakpastian utama bagi pasokan global, seiring sanksi AS terhadap Rosneft dan Lukoil, serta meningkatnya serangan terhadap infrastruktur energi di wilayah tersebut.


Selain itu, pernyataan Presiden Donald Trump yang membuka kemungkinan pengerahan militer AS ke Nigeria—produsen minyak terbesar di Afrika—menambah tensi geopolitik di pasar energi.

 


BACA JUGA:

Harga Emas Global Turun: Dipicu Tekanan Kebijakan Pajak Baru China

Rekomendasi Saham Pilihan: Selasa (4/11/2025)

Harga Minyak Dunia Naik, Pasar Respon  Positif KTT  Trump–Xi Jinping


 

Dari sisi permintaan, aktivitas manufaktur Asia tercatat melemah pada Oktober 2025, menurut survei bisnis terbaru. Asia merupakan konsumen minyak terbesar di dunia, sehingga penurunan aktivitas industri di kawasan ini memberi tekanan pada prospek permintaan energi.

 

CEO TotalEnergies, Patrick Pouyanné, mengungkapkan bahwa permintaan minyak di China telah melambat sejak 2020 seiring percepatan transisi energi bersih. Namun, ia tetap optimistis terhadap pertumbuhan jangka panjang, terutama dari India yang menunjukkan tren konsumsi energi meningkat.

 

Dolar AS Menguat, Menahan Kenaikan Harga

Selain faktor pasokan dan permintaan, penguatan dolar AS turut menahan laju harga minyak. Indeks dolar berada di level tertinggi tiga bulan terakhir, membuat komoditas berbasis dolar menjadi lebih mahal bagi pembeli dengan mata uang lain.

 

Pejabat Federal Reserve (The Fed) juga masih berbeda pandangan terkait arah suku bunga. Austan Goolsbee (The Fed Chicago) menyebut belum saatnya menurunkan suku bunga karena inflasi masih tinggi.

 

Sementara Mary Daly (The Fed San Francisco) mendukung pemangkasan sebelumnya, namun ingin menunggu data ekonomi baru sebelum mengambil langkah lanjutan pada pertemuan 9–10 Desember 2025.

 

Suku bunga yang lebih rendah biasanya mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan permintaan energi, tetapi ketidakpastian kebijakan moneter AS membuat pelaku pasar memilih bersikap hati-hati.

 

 

 

 

KOMENTAR