Harga Minyak Melonjak: Imbas Sanksi Baru Terhadap Iran

Jakarta, Inakoran
Harga minyak mentah mengalami lonjakan yang signifikan setelah Amerika Serikat memberlakukan sanksi baru terhadap Iran, Selasa (25/2/2025). Sanksi ini, yang menargetkan industri minyak Iran, dan komitmen Irak untuk mengompensasi kelebihan produksi dalam kelompok OPEC+ telah menambah kekhawatiran mengenai ketatnya pasokan minyak dalam jangka pendek. Kenaikan ini membantu pasar pulih dari penurunan tajam yang terjadi sebelumnya pada Jumat lalu.
Menurut laporan dari Reuters, minyak mentah Brent naik sebesar 35 sen atau 0,5%, mencapai US$ 74,78 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dari AS meningkat 30 sen atau 0,4% menjadi US$ 70,70 per barel. Kenaikan ini datang setelah penutupan rendah pada hari Jumat, di mana Brent mencatat penutupan terendah sejak 6 Februari, dan WTI mencapai level penutupan terendah sepanjang tahun ini.
Departemen Keuangan AS mengumumkan putaran sanksi baru yang menargetkan industri minyak Iran, termasuk pialang, operator tanker, dan pengirim yang terlibat dalam penjualan serta pengangkutan minyak bumi Iran. Namun, analis UBS, Giovanni Staunovo, mencatat bahwa dampak dari sanksi ini terhadap harga minyak masih perlu dibuktikan. Ini disebabkan oleh fakta bahwa ekspor minyak mentah Iran tetap tinggi meskipun ada pengetatan sanksi.
BACA JUGA:
Harga Emas Sentuh Rekor Tertinggi
Rekomendasi Saham Pilihan: Selasa (25/2/2025)
Harga Minyak Kembali Naik: Dampak Stok BBM AS Turun
Harga Minyak Naik Signifikan: Kamis (20/2/2025)
Di sisi lain, Irak menegaskan kembali komitmennya terhadap perjanjian pasokan OPEC+. Negara ini berencana untuk mengajukan strategi terbaru guna mengompensasi kelebihan produksi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Pada hari Minggu, Irak mengumumkan rencana untuk mengekspor 185.000 barel per hari dari ladang minyak Kurdistan melalui jaringan pipa Irak-Turki setelah pengiriman dimulai kembali. Hal ini menunjukkan upaya Irak untuk menjaga stabilitas pasar minyak di tengah ketidakpastian global.
Analis Commodity Context, Rory Johnston, mengatakan bahwa harga minyak kemungkinan akan pulih dari aksi jual tajam sebelumnya. Ekspektasi dimulainya kembali ekspor dari Irak utara, serta perkembangan terkait konflik di Ukraina, telah menyebabkan harga minyak turun lebih dari US$ 2 pada sesi sebelumnya. Struktur pasar saat ini juga menunjukkan indikasi ketatnya pasokan jangka pendek, dengan premi harga minyak mentah Brent berjangka bulan depan terhadap kontrak bulan berikutnya mencapai titik tertinggi sejak 11 Februari.
Namun, meskipun ada tanda-tanda pemulihan, beberapa analis memperingatkan bahwa harga minyak masih berpotensi tertekan. Perundingan untuk mengakhiri perang Ukraina dapat membuka peluang bagi lebih banyak minyak Rusia untuk masuk ke pasar, yang akan menambah tekanan pada harga. Selain itu, serangkaian kebijakan tarif yang diusulkan oleh AS juga berpotensi membebani aktivitas ekonomi dan menurunkan permintaan akan minyak mentah.
Presiden AS Donald Trump baru-baru ini menyatakan bahwa AS hampir mencapai kesepakatan mineral dengan Ukraina dalam perundingan bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron. Pembahasan ini mencakup prospek penyelesaian konflik di Ukraina, meskipun masih terdapat perbedaan pandangan mengenai langkah yang harus diambil.
Trump juga mengonfirmasi bahwa AS sedang mempertimbangkan penerapan tarif terhadap Kanada dan Meksiko, menegaskan bahwa Washington berada dalam posisi 'tepat waktu' terkait kebijakan tersebut. Tenggat waktu untuk penghentian sementara tindakan tarif akan segera berakhir minggu depan, yang menciptakan ketidakpastian tambahan di pasar.
Robert Yawger, analis dari Mizuho, menambahkan bahwa pasar minyak saat ini sedang menunggu peristiwa besar berikutnya yang dapat berdampak signifikan. "Kami baru saja membersihkan ruang untuk perdagangan yang lebih rendah, dan saya akan berhati-hati jika menjadi pembeli di pasar saat ini," ujarnya.
KOMENTAR