Hong Kong Kian Panas, Kesepakatan Damai Dagang AS-China Terancam Gagal

Sifi Masdi

Friday, 29-11-2019 | 09:36 am

MDN
Presiden Donald Trump dan Xi Jinping [ist]

Hong Kong, Inako

Kondisi Hong Kong saat ini semakin panas terutama setelah Presdien Amerika Serikat Donald Trump menandatangani undang-undang (UU) HAM dan Demokrasi Hong Kong yang mendukung para demontran pro-demokrasi pada Rabu (27/11/201) waktu setempat

UU ini bakal membuat hubungan AS dan China semakin memakin panas selama beberapa bulan ke depan. China memandang AS terlalu jauh ikut intervensi persoalan dalam negeri China. Kondisi ini diprediksikan akan membuat perundingan damai dagang di antra kedua negara raksasa ekonomi ini berada dalam ketidakpastian.

Simak video InaTv dan jangan lupa klik "subscribe and like" menuju Indonesia sejahtera.

 

Sekedar diketahui, dengan penandatangan UU, maka perwakilan AS akan melakukan tinjauan secara tahunan terhadap kawasan otonomi khusus China yakni Hong Kong. Tinjauan ini akan menjadi syarat bagi kawasan itu jika ingin melakukan aktivitas perdagangan dengan AS.

UU ini juga memungkinkan AS menjatuhkan sanksi terhadap pejabat China maupun Hong Kong yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di bekas koloni Inggris itu. Selain UU ini, ada pula UU soal penghentian ekspor senjata untuk penanganan massa ke Hong Kong.

Dalam pernyataannya Trump mengaku ia melakukan ini untuk kebaikan China dan Hong Kong.

"Saya menandatangani UU ini untuk menghormati Presiden China Xi dan orang-orang Hong Kong. Ini disah-kan dengan harapan bahwa para pemimpin dan perwakilan China dan Hong Kong akan dapat menyelesaikan perbedaan mereka secara damai, yang mengarah pada perdamaian jangka panjang dan kemakmuran bagi semua," jelas Trump.

Namun langkah Trump ini tak ayal membuat China berang. China menuding hal ini adalah intervensi pada urusan dalam negeri negara itu. Bahkan merupakan pelanggaran hukum internasional.

"Pemerintah China akan membalas jika AS terus melakukan hal semacam ini. AS adalah pihak yang harus bertanggung jawab," tegas pernyataan tertulis Kementerian Luar Negeri China, seperti diberitakan Reuters.
 

 

KOMENTAR