Ini Biang Kerok Turunnya Laba Pertamina

Sifi Masdi

Wednesday, 05-12-2018 | 19:00 pm

MDN
Gedung Pertamina [ist]

Jakarta, Inako

PT Pertamina (Persero) hanya membukukan laba bersih sebesar Rp 5 triliun sampai pada kuartal III-2018. Angka ini didapatkan dari paparan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Perolehan tersebut  merosot jauh dibanding capaian di 2017 lalu. Laba tercatat merosot sekitar 81% dibanding yang bisa dicapai perseroan di periode serupa tahun lalu, ketika perusahaan membukukan laba US$ 1,99 miliar atau setara Rp 26,8 triliun. Sedangkan dalam setahun perseroan bisa membukukan laba hingga Rp 35 triliun. 

Mengapa Turun?

Pengamat energi dan pertambangan Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menuturkan ada beberapa hal yang menjadi penyebab. Pertama, BUMN migas tersebut harus menanggung potential loss akibat dari kenaikan harga minyak dunia tetapi harga jual BBM Premium tidak naik.

Selain potential loss, lanjut Fahmy, produksi hulu migas di semua blok, ONWJ, Mahakam, dan lain-lain, rata-rata turun di bawah target APBN.

"Yang ketiga, efisiensi Pertamina itu sangat rendah, banyak pemborosan dalam pengeluaran biaya," ujar Fahmy kepada wartawan di Jakarta, Rabu (5/12/2018).

Hal serupa juga disampaikan oleh pengamat energi Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto. Ia menuturkan, kemungkinan utama penyebab turunnya laba tersebut terkait dengan kebijakan harga BBM yang ditetapkan pemerintah.

"Juga terkait kebutuhan belanja modalnya yang meningkat untuk investasi di blok-blok migas yang baru dikelolanya," ujar Pri Agung, Rabu (5/12/2018).

Kendati demikian, baik Pri maupun Fahmy masih belum bisa memberikan perhitungan akan sampai berapa perolehan laba dan pendapatan perusahaan sampai akhir tahun nanti. Pri mengatakan, hal itu di luar dari kapasitasnya.

Sebelumnya, Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno pernah mengatakan penurunan ini utamanya disebabkan oleh harga minyak dunia yang mengalami kenaikan. 

Meski harga minyak yang naik tersebut menyebabkan pendapatan di sektor hulu migas naik, hal tersebut belum cukup untuk menjadi kompensasi pendapatan di sektor hilir.

Dalam sebuah riset perbankan dalam negeri yang diterbitkan Juli 2018, dikatakan, Pertamina bisa merugi hingga Rp 2,8 triliun setiap harga minyak Brent naik US$ 1 per barel.

Memang agak beda dengan perusahaan migas lainnya, ketika kenaikan harga minyak justru menguntungkan, tetapi bagi Pertamina kenaikan harga minyak justru bikin pusing. Sebabnya, perusahaan ini memiliki beban di hilir yang lebih besar sementara produksinya di hulu terus merosot. 

Belakangan, harga minyak dunia menurun lebih dari 20%. Menanggapi hal ini, VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Adiatma Sardjito menilai, penurunan harga minyak merupakan angin segar bagi perusahaan. Tentunya, hal ini akan sangat memengaruhi keuangan perusahaan.

"Alhamdullilah, (harga minyak turun), ditambah Rupiah juga belakangan menguat cukup baik, jadi ini baguslah," ujar Adiatma, Jumat (9/11/2018).

Selain itu, kinerja keuangan perusahaan juga bisa dinilai membaik di tahun depan, lantaran pemerintah akan memberikan kepada BUMN migas tersebut biaya penggantian atas penyaluran Solar di 2017 yang mencapai US$ 1,3 miliar, atau setara Rp 18,8 triliun (kurs Rp 14.528 per dolar AS).

Hal ini dikemukakan Direktur Keuangan Pertamina Pahala Mansury kepada media saat dijumpai dalam gelaran Pertamina Energy Forum 2018, di Jakarta, Rabu (28/11/2018).

"Tentunya penggantian biaya tersebut akan meringankan beban keuangan perusahaan," ujar Pahala.

 

 

KOMENTAR