Ini Penjelasan Kubu Prabowo Terkait Penyebutan Menkeu Diganti dengan Menteri Pencetak Utang

Sifi Masdi

Sunday, 27-01-2019 | 22:27 pm

MDN
Anggota BPN Dradjad Wibowo [ist]

Jakarta, Inako

Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dradjad Wibowo memberikan penjelasan terkait pernyataan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto yang mengganti sebutan Menteri Keuangan (Menkeu) menjadi Menteri Pencetak Utang.

Dradjad mengatakan, pernyataan tersebut merupakan rangkaian kritik Prabowo tentang pengelolaan ekonomi Indonesia.

"Saya tidak akan berspekulasi apakah itu ditujukan ke Bu Sri Mulyani atau ke menteri keuangan yang lain. Saya hadir dalam acara Sabtu kemarin. Pernyataan mas Bowo (Prabowo) tentang Menteri Pencetak Utang itu sebenarnya dalam satu rangkaian kalimat dengan kritik tentang pengelolaan ekonomi Indonesia," ujarnya  Wibowo, Minggu (27/1/2019).

Dia menerangkan, awalnya Prabowo menyinggung soal pernyataan seorang menteri yang menyinggung produk petani Indonesia tak mampu bersaing sehingga lebih baik impor.

Setelah itu, Prabowo juga mempertanyakan rezim ekonomi yang melarang petaninya menjual produknya. Hal itu berkaca pada peristiwa yang terjadi pada bulan Agustus 2017 di mana 15.877 ton gula petani di Cirebon disegel Kementerian Perdagangan.

"Setelah itu mas Bowo berkata (kira-kira), di bidang keuangan jika Menkeu hanya bisa menumpuk utang, jangan sebut Menkeu, tapi Menteri Pencetak Utang," sambungnya.

Dradjad menjelaskan, hal itu tak lepas dari meroketnya jumlah nominal utang pemerintah selama Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selama 4 tahun Jokowi (Desember 2014 sampai Desember 2018), utang pemerintah naik Rp 1.809 triliun, dari Rp 2.609 triliun menjadi Rp 4.418 triliun. Sebutnya, tiap tahun naik Rp 452,25 triliun. 

Dia mengatakan, kenaikan utang itu jauh lebih tinggi dari 10 tahun pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Utang pemerintah Jokowi tiap tahunnya naik sampai 3 kali lipat dibanding utang zaman SBY.

"Sebagai perbandingan, selama 10 tahun Presiden SBY, kenaikan utang pemerintah 'hanya' Rp 1.309 triliun, atau Rp 131 triliun per tahun. Jadi setiap tahun pemerintahan Presiden Jokowi berhutang rata-rata 3,45 kali lipat dari pemerintahan Presiden SBY. Ini kenaikan yang sangat luar biasa," jelas Dradjad.

Memang, kata dia, banyak yang berargumen rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah di sekitaran 30%. Sementara, Jepang sudah mencapai 250,4%. Tapi, kata dia, rasio pajak Jepang jauh lebih tinggi dari Indonesia.

"Di Jepang angkanya sekitar 36%. Di Indonesia hanya 10,7% tahun 2017. Ini juga terus turun dari 13,7% (2014), 11,6% (2015) dan 10,8% (2016)," terangnya.

Oleh sebab itu, kata Dradjad, Prabowo menilai siapapun tidak pantas disebut Menkeu jika utang terus menumpuk tapi rasio pajak turun.

"Jadi jika hanya bisa meroketkan jumlah utang pemerintah, sementara rasio pajak turun dan pembayaran utang menjadi beban besar APBN, mas Bowo menilai tidak pantas disebut Menkeu. Siapapun dia," tutupnya.
 

 


 

KOMENTAR