Bank Lebih Senang Timbun Duit di SBN: Fungsi Intermediasi Perbankan Tersendat?
Jakarta, Inakoran
Kepemilikan perbankan pada instrumen surat berharga negara (SBN) yang dapat diperdagangkan melonjak tajam sepanjang tahun berjalan 2025. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah bank lebih nyaman menaruh dana di instrumen aman ketimbang menyalurkan kredit ke sektor riil?
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, hingga 11 September 2025, kepemilikan bank di SBN tradeable mencapai Rp1.357,2 triliun, naik Rp305,8 triliun dari posisi akhir 2024 senilai Rp1.051,4 triliun.
Sementara itu, kepemilikan asing justru menurun drastis. Per 11 September 2025, nilai kepemilikan asing hanya Rp928,5 triliun atau 14,4% dari total outstanding—level terendah sejak Juli 2025. Dalam periode 1–11 September saja, investor asing sudah mencatat jual bersih Rp25,4 triliun (US$1,5 miliar). Bahkan, mereka juga terus melepas kepemilikan SRBI dengan akumulasi jual bersih mencapai Rp11,9 triliun dalam dua pekan.
Menurut Rully Arya Wisnubroto, Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia, penurunan kepemilikan asing di SBN diimbangi oleh kenaikan porsi institusi domestik, terutama bank. Sepanjang 1–11 September 2025, bank menambah kepemilikan SBN hingga Rp20,6 triliun, disusul asuransi dan dana pensiun Rp16,9 triliun.
BACA JUGA:
Harga Minyak Naik Tipis: Pasar Cermati Potensi Sanksi Terhadap Rusia
Rekomendasi Saham Pilihan: Selasa (16/9/2025)
Kebijakan Menkeu Tempatkan Dana Pemerintah Rp 200 Triliun ke Bank BUMN Tuai Pro dan Kontra
“Sepanjang tahun ini, kepemilikan bank di SBN meningkat signifikan hingga Rp305,8 triliun, sejalan dengan likuiditas perbankan yang longgar, dengan loan to deposit ratio (LDR) per Juli hanya 86,5%,” jelas Rully.
Di satu sisi, derasnya aliran dana bank ke SBN membantu menjaga imbal hasil obligasi pemerintah tetap rendah. Yield SBN tenor 10 tahun bahkan turun 66,6 bps year-to-date menjadi 6,33% hingga 12 September 2025.
Namun, kondisi ini juga memperlihatkan sisi lain: fungsi intermediasi perbankan berjalan tidak optimal. Pertumbuhan kredit per Juli 2025 hanya 7,0%, terendah dalam 40 bulan terakhir. Menurut Rully, rendahnya permintaan kredit dan meningkatnya rasio kredit bermasalah (NPL) membuat bank semakin ketat dalam menyalurkan pinjaman.
Menyadari adanya risiko stagnasi penyaluran kredit, pemerintah mulai mendorong bank agar lebih agresif memanfaatkan likuiditas. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menarik dana kas Rp200 triliun yang sebelumnya disimpan di Bank Indonesia untuk ditempatkan di bank-bank BUMN.
Rinciannya, Bank Mandiri, BRI, dan BNI masing-masing mendapat Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, dan BSI Rp10 triliun. Dana tersebut ditempatkan dalam bentuk deposito on call tanpa lelang, dengan bunga sekitar 80% dari BI Rate. Skema ini diharapkan memberi bank fleksibilitas untuk mengalirkan dana ke sektor produktif, bukan hanya menimbunnya dalam SBN.







KOMENTAR