Ini Rencana Prabowo Terkait Masalah BBM

Sifi Masdi

Thursday, 29-11-2018 | 15:08 pm

MDN
Capres Prabowo Subianto [ist]

Jakarta, Inako

Anggota Tim Ekonomi Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Dradjad Wibowo memaparkan sejumlah rencana mengatasi masalah BBM jika Prabowo nantinya terpilih menjadi Presiden.

"Prabowo-Sandi akan menggenjot pembangunan kilang minyak, pabrik etanol, infrastruktur penerima gas, dan pembangunan jaringan transmisi gas," kata, Rabu (28/11/2018).

Selain mendorong pembangunan kilang minyak, konversi penggunaan BBM ke gas dan energi terbarukan, khususnya biodiesel, akan diperluas.

Biodiesel dijadikan produk unggulan karena Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia.

"Di sisi lain, ekspor sawit Indonesia sedang diserang kampanye negatif yang berlebihan dan tidak fair oleh sebagian LSM dan pesaing minyak sawit di Eropa Barat. Dengan kebijakan industri yang proaktif, termasuk insentif yang tepat sasaran, Prabowo-Sandi Indonesia ingin menjadikan Indonesia sebagai raksasa bioenergi dunia," paparnya.

Menurut catatan PT Pertamina (Persero) yang dilansir, Rabu (28/11/2018), terakhir kali Pertamina membangun kilang minyak adalah sekitar 20 tahun lalu. 

Kilang terbaru yang dibangun Pertamina adalah Kilang Sorong yang beroperasi sejak 1997 dan Kilang Balongan mulai beroperasi 1994, setelah itu belum ada ada lagi pembangunan kilang. 

Selain jumlahnya minim, kemampuan kilang Pertamina juga mulai tertinggal.

Saat ini kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional mencapai 1,3-1,5 juta barel/hari. Sementara kilang Pertamina hanya memiliki kapasitas terpasang 1,03 juta barel. 

Tapi karena teknologinya sudah lama, minyak mentah yang diolah tak bisa maksimal. Bagaimana tidak, dari 6 kilang yang dimiliki Pertamina, sebagian besar sudah beroperasi di atas 30 tahun.

Dengan kondisi tersebut, saat ini produksi maksimal kilang-kilang tersebut bila ditotal hanya sekitar 900.000 barel/hari. 

Angka ini sebenarnya sudah mengalami peningkatan dibanding tahun 2016 yang hanya 800.000 barel per/hari namun tetap saja masih kurang dari angka konsumsi nasional.

Akibatnya, kekurangan BBM harus dipenuhi melalui impor. Kondisi ini menjadi beban tersendiri bagi keuangan negara.

Kondisi tercermin dari neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2018 ini kembali defisit. Kali ini, defisit ada tercatat sebesar US$ 1,82 miliar. 

Defisit disebabkan dari impor yang sebesar US$ 17,62 miliar, sementara ekspornya year on year (YoY) hanya US$ 15,80 miliar.

Mantan Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Said Didu menjelaskan, rencana yang akan dilakukan tim Prabowo mengenai pembuatan kilang bisa saja dilakukan. Namun ada tantangannya.

Pertama adalah naik turunnya harga minyak yang mau tak mau tetap akan mempengaruhi harga BBM di dalam negeri.

"Nanti harga crude-nya aja yang nantinya akan fluktuatif. Sehingga kalau nggak mau fluktuatif bisa saja jadi yang tidak di subsidi itu bisa saja bahan bakunya yang di subsidi," jelasnya, Rabu (28/11/2018).

Kedua, adalah keberadaan mafia minyak yang selama ini dianggap sebagai penghambat upaya pemerintah merealisasikan pembangunan kilang. Said Didu berpendapat, pembangunan kilang di dalam negeri bisa saja dilakukan yang penting pemerintah berani untuk membasmi mafia minyak.

"Karena kondisinya dari dulu itu karena ada orang yang berkepentingan supaya tidak bangun kilang, masa kita beli dari Singapura. Singapura aja nggak ada minyaknya nggak ada kebutuhan untuk bangun kilang. Itu hampir terbesar di dunia lho, di Singapura. Kalau udah berani melawan mafia minyak pasti kita bangun kilang ya udah gitu saja jawabannya," kata dia.

Sementara itu mengenai pembiayaan pembangunan kilang Said menjelaskan, tidak ada masalah karena Indonesia memiliki pasar. 

"Pendanaan itu nggak ribet karena konsumsinya ada. Pasarnya ada, nah memang yang paling penting yang perlu diwaspadai adalah yang punya stok minyak itu kan timur tengah jadi kalau mau membangun kilang tanpa bekerja sama dengan dia itu memang agak ribet," kata dia.


 

KOMENTAR