Ini Risiko yang Dihadapi RI Bila Trump dan Xi Jinping Gagal Capai Kata Sepakat

Sifi Masdi

Thursday, 27-06-2019 | 17:58 pm

MDN
Presiden AS DonaldĀ Trump dan Presiden China Xi Jinping

Jakarta, Inako

Perjanjian dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China punya harapan untuk menjadi kenyataan. Keyakinan itu muncul setelah Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan kedua negara masih memiliki harapan untuk merampungkan seluruh kesepakatan penting itu.

Kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu telah saling mengenakan bea impor sejak setahun lalu terhadap berbagai produk senilai ratusan miliar dolar. Kebijakan itu telah mengguncang perekonomian dan pasar keuangan dunia serta mengganggu rantai pasokan global.

Bicara soal optimisme, ekonomi pun akan semakin membaik. Lalu bagaimana jika AS dan China batal bersepakat?

"Bila negosiasi dagang tersebut semakin sulit mencapai titik temu maka dampaknya kepada ekonomi global semakin nyata dan berkepanjangan (prolong)," kata Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah kepada wartawan, Kamis (27/6/2019).

Bila hal ini terjadi, sambung Nanang, maka bank sentral AS Federal Reserve pun akan semakin agresif menurunkan suku bunga karena ekonomi AS pun akan semakin terpukul. Pasar OIS (overnight index swap) dan futures bahkan memprediksi akhir tahun ini Fed Funds Rate akan ke 1,6%, terpaut jauh dari dot plot FOMC terakhir di 2,375%.

"Dengan menguatnya ekspektasi penurunan suku bunga global dan domestik ke depan, wajar bila investor sigap masuk ke SBN [Surat Berharga Negara] saat ini untuk mengunci (lock up) yield SBN yang tinggi saat ini karena mereka tahu yield akan berlanjut turun. Secara year-to-date (per 25 Juni 2019), arus modal ke pasar SBN saja mencapai Rp 90,9 triliun," papar Nanang.

Ia menjelaskan lebih jauh, bila yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang sempat mencapai 1.9% berlanjut turun ke 1,6% di akhir 2019 akan membuat spread dengan yield SBN yang saat ini di 7.4% maka spreadnya akan melebar di atas 550 bps. 

"Bila dikurangi dengan instrumen lindung nilai seperti Credit Default Swap (CDS) Indonesia yang saat ini 100 bps, maka Covered Yield Parity nya 450 bps. Seharusnya CDS Indonesia lebih rendah dari 100 bps karena pasar belum memperhitungkan secara penuh (fully priced in) upgrade credit rating oleh S&P pada akhir Mei lalu," tutur Nanang.

Kondisi ini berbeda dengan tahun 2018 lalu di mana the Fed justru sedang menaikkan suku bunga sehingga mendorong yield obligasi AS naik di atas 3.0%. Sehingga di tahun 2018 lalu, sambung Nanang, RI menghadapi dua tantangan pada neraca pembayaran yaitu tekanan di current account dan financial account. 

 

KOMENTAR