Isu Radikalisme dan Ujaran Kebencian Jelang Pemilu 2024

Hila Bame

Monday, 07-02-2022 | 10:31 am

MDN
Ilustrasi

 

Jakarta, INAKORAN

Politik identitas masih menjadi warna percakapan publik menjelang Pemilu 2024. Hal tersebut terjadi terutama di media sosial. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Densus 99 GP Ansor, Nuruzzaman.

 

Menurut Nuruzzaman, fakta-fakta saat ini menunjukkan politik identitas menjadi isu yang akan dihadapi pada Pemilu 2024. Dia merujuk kepada penelitian Alvara Institute yang menyebut 30 juta muslim urban yang memilki semangat agama tinggi tapi pengetahuan agamanya rendah, demikian rilis yang diterima INAKORAN Senin (7/2/2022)

 

"Medsos posisinya biner, suka tidak suka. Penelitian Alvara Institute, ada muslim baru jumlahnya 30 juta, semangat agamanya tinggi tapi pengetahuan agamanya rendah. Ini mudah ditarik ke politik," kata Nuruzzaman dalam diskusi "Isu Radikalisme dan Ujaran Kebencian Jelang Pemilu 2024" yang diselenggarakan Total Politik pada 6 Februari 2022 di Bangi Kopi Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

 

Nuruzzaman menjelaskan, politik identitas digunakan untuk mempengaruhi masyarakat. Ada fakta yang disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bahwa ada lembaga pendidikan yang terafiliasi dengan teroris.

 

"Sayangnya BNPT minta maaf. Fakta ada lembaga pendidikan keagamaan yang terafiliasi dengan teroris. Bahkan ada ribuan. Tinggal dilakukan pemetaan saja. Yang mengajarkan intoleransi itu," ujar Staf Khusus Menteri Agama itu.

 

Nuruzzaman berharap semua kalangan agar duduk bersama dan membicarakan persoalan radikalisme dan intoleransi itu sehingga lembaga pendidikan tidak memproduksi intoleransi.

 

"Kalau sesungguhnya ada, ya kita duduk bersama dan bicarakan agar lembaga agama tidak memproduksi orang-orang intoleran. Kita bisa lihat fakta pesantren di Ngruki melahirkan Jamaah Islamiyah, meskipun tidak semuanya. Kemudian mereka berani menyatakan orang yang berbeda itu salah. Kemudian divonis masuk neraka. Lembaga pendidikan yang mengajarkan seperti itu ada. Kita harus jujur itu ada dan jangan dinafikan," kata Nuruzzaman.

 

Terkait dengan BNPT yang menyebutkan ada pesantren yang terafiliasi terorisme, menurut Dewan Penasihat Forum Ulama Habaib, Haikal Hassan, kalau BNPT benar seharusnya menangkap yang dimaksud terafiliasi itu.

 

"Kalau misalkan benar terafiliasi, dari kamus bahasa, terafiliasi itu kan cabang. Kalau memang benar ada ya tangkap karena berbahaya. Yang dimaksud terafiliasi itu apakah kurikulum atau oknumnya. Ya tangkap," ujar Haikal.

 

Menurut Haikal, masyarakat seringkali terjebak pada istilah radikal. Padahal dulu Pangeran Diponegoro dianggap radikal oleh Belanda. Justru yang berbahaya itu orang yang berpandangan setengah radikal.

 

"Tolong definisinya diperbaiki. Kalau pemahaman utuh maka niscaya tidak akan terjadi ngatain gereja, pendeta. Tidak ada orang Kristen yang ngatain pendetanya, orang Katolik yang ngatain pastur. Tapi kok ada orang Islam yang ngatain ulama, habaib. Disebut kadrun. Tangkap buzzer pemecah belah nkri," ujar Haikal.

 

Haikal sepakat apabila pemetaan terhadap penceramah dilakukan. Menurut dia, standarisasi penceramah penting karena ceramah tanpa ilmu bisa berbahaya.

 

"Pemetaan harus dilakukan. Saya sering ikut memberikan pelatihan. Dan standarisasi dai itu penting. Sebab ancaman tanpa ilmu bahaya juga," ujarnya.

 

Menanggapi pemetaan masjid dan lembaga pendidikan, menurut Pendiri lembaga survei KedaiKopi, Hendri Satrio, kalau memang ada pemetaan terhadap lembaga pendidikan intoleran, tetap harus diberikan ruang pembelaan kalau memang hasil pemetaan itu dianggap tidak sesuai.

 

"Kalau hasil tidak sesuai dengan pihak yang dituduhkan maka harus ada ruang untuk menjelaskan. Kalau ada orang yang nunjuk radikal jangan-jangan orang itu yang radikal," ujarnya.

 

Kelompok Intoleran Hanya Super Minoritas?

 

Hendri Satrio, melihat kelompok intoleran merupakan kelompok yang super minoritas. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat lebih mudah menemukan orang-orang yang tidak radikal ketimbang orang yang radikal.

 

Menurut Hendri, isu intoleransi dan radikalisme adalah isu yang dipelihara terus-menerus dan selalu digunakan untuk kepentingan politik. Politik identitas itu, menurut dia, sah-sah saja digunakan. Tapi tidak boleh memasukkan unsur reward dan punishment dalam politik identitas.

 

"Kenapa ini dipelihara terus. Fukuyama dalam bukunya mengatakan identitas ini selalu digunakan untuk kepentingan politik. Yang tidak boleh memasukkan reward and punishment dalam identitas. Yang saya khawatirkan bahwa suatu kelompok itu bisa besar ketika berhadapan dengan kelompok lain. Saya khawatir ini dipelihara untuk membesarkan," ujar dia.

 

Hendri mewanti-wanti dengan premis intoleransi terjadi di Indonesia. Padahal itu hanya sekadar isu yang sengaja dibesar-besarkan.

 

"Kalau ada yang intoleran, saya setuju. Pemerintah kan tahu, yauda tangkap saja. Tapi isu ini kenapa dijaga terus-menerus," kata dia.

 

Hendri mempertanyakan pemerintah yang menyatakan radikalisme berbahaya tapi tidak melakukan hal-hal yang spesifik.

 

"Pemerintah bilang radikalisme bahaya. Terus pemerintah ngapain aja. Yang membahayakan isu radikalisme ini dipelihara terus. Kata-kata kadrun aja sampai saat ini masih dipelihara. Saya gelisah karena tidak ada hal spesifik yang dilakukan pemerintah. Indonesia ini baik-baik saja sebelum 2017," ujar Hendri.

 

Haikal Hassan pun mengaminkan bahwa kelompok intoleran merupakan kelompok yang super minoritas.

 

"Masalahnya super minoritas ini yang pegang duit. Makanya super minoritas ini jadi trending.

Isu 212 itu keluar kata-kata intoleran dan radikal. Padahal 212 itu Pak Jokowi hadir, Pak Prabowo hadir. Tapi framingnya radikal. Karena keberhasilan para buzzer telah menyudutkan 212 jadi kelompok intoleran, radikal," kata Haikal.

 

Sementara Nuruzzaman tidak setuju dengan penyebutan super minoritas terhadap kelompok intoleran. Karena faktanya ada lembaga pendidikan yang dibiayai oleh uang asing dan mengembangkan intoleransi dalam kurikulumnya.

 

"Mungkin minoritas iya, tapi bukan super minoritas. Faktanya ada lembaga pendidikan yang dibiayai dari asing itu ada, dari Saudi, Qatar, Timur Tengah. Kalau dibiarkan minoritas ini maka mereka akan terus berkembang. Karena ada 30 juta muslim urban yang semangat keagamaan kuat, tapi pengetahuan agamanya rendah," ujar dia.

 

Menurut Nuruzzaman, isu radikalisme muncul sejak reformasi karena ruang demokrasi terbuka buat siapa saja. Ada ruang dalam demokrasi yang memungkinkan hal-hal tersebut. Menurut dia, radikalisme menjadi tanggung jawab bersama.

 

"Saya punya dokumen, elit-elit politik yang memanfaatkan politik identitas. Ada ideologi asing yang organisasi transnasional yang menginginkan konsolidator atau menjadi pemimpin negara-negara Islam di dunia. Ada parpol yang memanfaatkan politik identitas. Politik identitas tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Kami di Ansor juga berkepentingan agar tidak menggunakan politik identitas," kata dia.

 

 

#Safari2024 Total Politik

Total Politik adalah platform diskusi online maupun offline yang mengangkat diskusi politik yang aktual dan menjadi referensi jurnalis, akademisi, dan publik. Jelang Pemilu 2024, Total Politik menginisiasi program #Safari2024 yang memiliki visi untuk menaikkan satu oktaf perbincangan politik 2024, yang masih malu-malu menjadi lebih jelas dan gamblang, sehingga bisa menjadi referensi masyarakat dalam melihat fenomena politik kontestasi 2024 mendatang.

 

 

KOMENTAR