Jurnalis Corong Pendopo

Oleh : H. MAHPUDIN, SH., MM., M.Kn.
JAKARTA, INAKORAN
"Ketergantungan mutlak pada asupan narasumber menjadikan jurnalis setali tiga uang dengan staf humas, lebih tegasnya sebagai corong penguasa".
( Dr. Sirikit Syah, MA. Pengajar dan pengamat media dalam Jurnalisme Rilis dan Corong Penguasa, April 2021)
Saya memahami kondisi temen temen jurnalis dan media yang bersikap sebagai staf humas dan atau kepala dinas penerangan bagi penguasa baik pusat maupun daerah.
Karena di era post truth dan digitalisasi media, perusahaan media dan awak medianya harus berinovasi dan mencari jalan untuk bisa survive dari tantangan jamannya. Salah satu bagian terpenting dari ikhtiar survive dan sebagai pilihan profesi adalah pada aspek kesejahteraan awak media.
Ditambah lagi dengan sikap dan perilaku hedonis, kapitalis dan materialis yang mematikan akal waras dan sikap kritis. Dampak turunannya pada sikap mental menghamba pada pemegang kuasa. Kebenaran berita hanya yang bersumber dari diri dan kelompoknya dengan menafikan sumber lian.
BACA:
Pemerintah Siap Kenakan Pajak pada Aset Kripto
Ketika media mainstream nasional terpapar virus seperti itu maka akan menjadi pandemi bagi jurnalis di daerah.
Pandemi Covid 19 bisa dengan cara lokcdown dan pembatasan sosial maka pendemi virus corong penguasa tidak bisa dilokcdown dan pembatasan atau penyekatan arus mudik ataupun arus balik seperti yang terjadi pada lebaran tahun ini .
Akan tetapi terhadap media dan jurnalis yang tidak sejalan dengan arus utama media atau jurnalis corong pendopo yang akan dilokcdown dan dibatasi ruang geraknya bahkan bila perlu di masukkan pada ruang isolasi mandiri.
Dalam pengamatan penulis, sekurangnya ada tiga indikator sebuah media atau jurnalis yang terindikasi sebagai corong pendopo :
Pertama, berita yang di posting atau direlees cenderung pada berita positif ansih seputar kegiatan pendopo dan para pejabatnya,
Kedua, narasi berita oleh banyak media terindikasi plagiat atau copy paste. Artinya konten berita yang sama dan disebar atau dimuat diberbagai media dengan konten narasi yang sama dengan sedikit editan beberapa kalimat,
BACA: India Laporkan lebih dari 4.000 kematian akibat COVID-19 untuk hari kedua berturut-turut
Ketiga, terbentuknya pokja-pokja (kelompok kerja) di instansi sumber berita. Semisal pokja polres dan pokja pendopo . Maka ketika berita yang bersumber dari instansi tersebut akan dimuat di banyak media yang tergabung dalam pokja tersebut dengan konten berita yang sama.
Inilah yang membedakan berita dengan siaran pers.
Kalau berita yaitu adanya verifikasi, penelurusan, keterangan dari pihak lain (cover both sides), dan independensi dari narasumber. Sedangkan yang terjadi pada publikasi pemberitaan seputar kegiatan bupati adalah semacam siaran pers pendopo.
Jangan sampai temen temen media di Indramayu terkategorikan seperti Para BuzzeRp yang menulis berdasarkan perintah kakak pembina atau majikannya. Peristiwa apa harus disikapi bagaimana, sudah di-setting secara terstruktur dan sistematis.
Saya tidak dalam posisi men-judge atau menilai bahwa jurnalis Indramayu makin tumpul cara berpikirnya.
Saya hanya menangkap bahwa jurnalis Indramayu kurang punya kebebasan karena harus banyak berkompromi, dan makin tidak bebas mengeksplorasi peristiwa.
Ini sebuah konsekuensi zaman, sebuah pengorbanan profesional di era rezim yang mendominasi wacana sosial politik di Indonesia.
Matinya nalar kritis jurnalisme. Meminjam diksi yang dipakai oleh tokoh kritis Indramayu Sahabat Oo dialam baqa (PKSPD) adalah wartawan salon. Pers tak lagi menjadi "watch dog" bagi Penguasa dan kekuasaannya.
**)H. MAHPUDIN, SH., MM., M.Kn. (Pengajar Matakuliah Hukum dan Etika Penyiaran pada IAILM Suryalaya)
TAG#Jurnalis Corong Pendopo , #MAHPUDIN, #SH., #MM., #M.Kn.
198733148
KOMENTAR