Keangkuhan Narasi Para Pembantu Jokowi

Johanes

Saturday, 22-02-2020 | 15:46 pm

MDN
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat, Adlan Daie

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat

 

Jakarta, Inako

Pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi disesaki narasi-narasi keangkuhan para pembantunya. Jenderal (purn) Fahrur Rozi  pasca pelantikannya sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) memulainya dengan pernyataan penuh percaya diri bahwa dirinya bukan Menteri Agama Islam melainkan Menteri Agama Republik Indonesia (RI) diikuti pernyataan-pernyataan lain tak kalah hebohnya tentang cadar, celana cingkrang dan gagasannya untuk menghapus konten khilafah tanpa konteks dalam rencana revisi pelajaran agama di sekolah- sekolah.

Inilah pendangkalan perspektif dan keangkuhan narasi  seorang Menteri Agama yang sangat minimalis pemahaman agamanya seolah-olahi Islam tidak ramah di ruang publik. Ironisnya, justru Kementerian Agama-lah sumber intoleransi dengan gegabah mengisi kekosongan posisi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Katoltik karena purna tugas oleh seorang pejabat berlatar belakang agama lain. Sebuah potret intoleransi  nyata dalam tata kelola management SDM di lingkungan Kementerian Agama.

Dari sisi aktualitas momentumnya keangkuhan narasi- narasi lain yang ditunjukkan para pembantu Jokowi di ruang publik dalam implementasi kebijakan dan kesombongan a historis gagasannya setidaknya :

Pertama, kukuhnya Menteri Keuangan (menkeu),Sri Mulyani menaikkan iuran BPJS  kelas III meskipun daya tolaknya di parlemen sangat keras sebagaimana ditunjukkan dalam rapat gabungan komisi II, VIII, IX dan XI  beberapa waktu lalu. Menkeu kukuh dengan opsi menaikkan iuran BPJS kelas III dengan argumen tata kelola keuangan negara khas cara pandang madhab neoliberalisme ekonomi dengan tambahan beban dipikul rakyat melalui kebijakan-kebijakannya menaikkan tarif cukai sejumlah produks kemasan plastik dan bahan pemanis dengan pembiaran kasus pembobolan dana Jiwasraya  puluhan triliyun rupiah yang sangat mengganggu keadilan publik.

Kedua, kebijakan regulatif dengan pendekatan Omnibus law tentang penciptaan lapangan kerja (ciptaker) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang memungkinkan mencabut pasal-pasal di sejumlah undang- undang yang menghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja (ciptaker) dari sisi intensi niat tentu sangat baik akan tetapi dari sisi konten sejumlah pasalnya bersifat over dosis melampaui kewenangan pemerintah.

Draf pasal 170 RUU tentang ciptaker di atas yang memberi kewenangan pemerintah  merubah ketentuan undang- undang dengan Peraturan Pemerintah (PP) jelas menyalahi hirarkhi pembentukan peraturan perundang-undangan dan konstitusi serta berpotensi penumpukan kekuasaan di area eksekutif. Penjelasan Prof. Mahfud Md, Menkopolhukam bahwa draf pasal di atas hanya salah ketik tentu sulit diterima karena panjangnya ketentuan pasal di atas dengan tiga ayat turunannya.

Ketiga, keangkuhan intelektual Yudian Wahyudi,  Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), pendatang baru di lingkaran pembantu Jokowi tanpa bersimbah keringat dalam Pilpres 2019. Pernyataannya yang bombastis bahwa agama musuh terbesar Pancasila bukan saja menandai bahwa ia tuna sejarah tentang proses dialektika perumusan Pancasila oleh para founding fathers dari para intelektual nasionalis dan agamis, lebih jauh, Yudian Wahyudi meletakkan Indonesia sebagai khas negara modern sekular sebagaimana tradisi modernitas negara-negara barat yang menjauhkan norma dan simbol- simbol agama dari ruang-ruang negara.

Penghadapan secara head to head antara agama versus Pancasila adalah pandangan paradigmatik sesat pikir karena Pancasila secara substantif dan sublimatif adalah  turunan dari nilai agama-agama yang dibingkai dalam konteks sosiologis ke-Indonesiaan. Tentu sangat berbahaya bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara jika pandangan Yudian Wahyudi di atas diartikulasikan dalam tugasnya sebagai kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Justru mencederai nilai-nilai Pancasila sendiri. Inilah keangkuhan narasi intelektual yang tidak boleh terjadi di lingkaran dekat Jokowi.

Presiden Jokowi pasca 100 hari kerja periode keduanya perlu mengkaji ulang orkestrasi kerja para pembantunya. Pertemuannya dengan para komponen relawan, influencer, penggiat media sosial dan lain-lain(Selasa, 18 Februari 2020) di Istana Bogor dan data survey tentang performa para pembantunya yang dirilis lembaga survey Indonesia Political Opinion (IPO) dapat menjadi alat deteksi awal evaluasi untuk kemungkinan me-resuffle dan mereposisi sejumlah para pembantunya baik di level pucuk pimpinan kementerian maupun lembaga negara non kementerian.

Kepemimpinan Jokowi yang merakyat dan program- program kerakyatannya yang dipercaya publik hingga terpilih kembali dalam kontestasi Pilpres 2019 harus diletakkan dalam fondasi legacy kepemimpinanannya dalam periode keduanya tidak tertelan keangkuhan narasi para pembantunya yang justru menjadi beban di pundak Presiden Jokowi. Presidenlah penerima mandat rakyat dan para pembantunya kapan saja bisa diganti jika tidak sesuai dengan ekspektasi kerja Presiden, apalagi bersifat kontra produktif dengan visi presiden dengan kehebohan- kehebohan narasi yang tidak perlu.

KOMENTAR