Kekerasan Fisik Oleh Oknum Polisi Terhadap Aktivis PMKRI Di Kupang Harus Yang Terakhir, Jangan Lagi

Hila Bame

Tuesday, 21-01-2020 | 08:34 am

MDN
Petrus Selestinus

Jakarta, Inako

Pengacara Petrus Selestinus menyesalkan kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum polisi di Kupang terhadap seorang aktivis Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Sabtu (19/1/2020). 

Polisi yang Humanis dan Promoter, terang Selestinus, adalah Polisi yang tampil sederhana, murah senyum, ramah tetapi tetap tegas, tepat dan cepat dalam bertindak dengan tetap menjunjung tinggi Hukum dan HAM serta budaya, profesional, moderen dan terpercaya (Promoter). Misi Presiden Jokowi melahirkan Polisi yang mengayomi rakyat telah tercoreng akibat perilaku oknum Polisi yang hanya mengedepankan emosi, kekerasan fisik dan verbal, pungkas Selestinus, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia(TPDI) kepada inakoran.com Selasa (21/1/2020).


Peristiwa pemukulan yang dilakukan oleh Brigpol. Polce Adu, dkk., terhadap Oswin Goleng, aktivis PMKRI  di Kupang, pada Sabtu tanggal 19 Januari 2020, bukan produk dari Polisi Humanis dan Promoter. Peristiwa pemukulan aktivis PMKRI juga bukan baru pertama kali terjadi di NTT, karena pada tahun-tahun sebelumnya-pun peristiwa oknum Polisi ringan tangan menganiaya Aktivis Mahasiswa PMKRI, sering terjadi.


Perlakuan oknum Polisi di NTT terhadap Mahasiswa PMKRI dengan pendekatan tangan besi, lanjut Advokat Peradi ini,  pertanda bahwa program Pimpinan Polri melahirkan Polisi Humanis dan Promoter di NTT gagal total. Oknum Polisi NTT seakan-akan masih ditanamkan sikap menyimpan dendam kusumat, ketika berhadapan dengan aktivis PMKRI di lapangan, sehingga gesekan antara aktivis PMKRI dan Oknum Polisi selalu berujung dengan penganiayaan.

Selestinus mencatat  peristiwa pemukulan yang dilakukan oknum Polisi terhadap aktivis PMKRI pada tahun-tahun sebelumnya, maka dapat dipastikan bahwa dalam 5 (lima) tahun terakhir peristiwa penganiayaan oleh oknum Polisi terhadap aktivis PMKRI di NTT, terus terjadi secara sistemik sehingga misi melahirkan Polisi Humanis dan Promoter gagal total. Sebagai contoh dapat disebutkan sbb. : 


a. Pada tanggal 7 Januari 2018 Mahasiswa PMKRI Cabang Ruteng mengalami tindak kekerasan dari aparat Kepolisian Manggarai: 

b. Pada tanggal 9 Desember 2017, bertepatan dengan hari Anti Korupsi sedunia, aktivis PMKRI di Ruteng juga dipukul dan dicekik oleh oknum Polres Manggarai ; 

c. Pada tanggal 8 Mei 2016, aktivis PMKRI dipukul oleh oknum Polisi saat demo di depan Kantor Bupati Ende; dan 

d. Pada tanggal 2 Desember 2014 Mahasiswa PMKRI Kupang dianiaya Polisi di Marga PMKRI Kupang dll.


Melihat peristiwa kekerasan yang dialami Aktivis PMKRI secara terstruktur dan sistemik oleh oknum Polisi, maka apa yang terjadi dengan Adrianus Oswin Goleng, pada tanggal 19 Januari 2020 kemarin, patut diduga merupakan "grand design" kekuatan tertentu di luar Institusi polri untuk memperlemah generasi muda NTT dalam jangka panjang atau masih ada yang salah dalam pola rekrutmen dan penempatan anggota Polri di NTT, ujar Selestinus.


Diakui Selestinus, apa yang terjadi dengan aktivis Mahasiswa PMKRI di NTT, disejumlah tempat polanya sama, ada peristiwanya tetapi tidak jelas pertanggungjawaban pidana secara transparan bagi oknum Polisi yang menganiaya korban. Kita patut menduga ada sebuah kekuatan yang mendesign yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan menghacurkan mental generasi muda terbaik penerus bangsa asal NTT, agar mereka menjadi generasi pengecut, kerdil, kehilangan jati diri dan tidak peduli atau menjadi asosial terhadap lingkungan sosial dan budaya sekitarnya.


Mahasiswa PMKRI, adalah kelompok anak muda yang penuh idealisme, sangat peduli terhadap identitas budaya dan lingkungannya. Karena itu kekerasan fisik dan verbal yang sering dihadapkan pada akitivis PMKRI harus dipandang sebagai grand design sistimatis, untuk membunuh idealisme, karakter kepemimpinan yang kuat, militan dan konsisten Mahasiswa PMKRI dalam gerakan advokasi menuntut perbaikan Penegakan Hukum, Keadilan dan Kebenaran. 


Sebuah sikap yang sudah langka dimiliki oleh generasi muda kita saat ini, akibat pragmatisme yang melanda sebagaian besar generasi anak bangsa termasuk menguatnya pragmatisme di internal Polri, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memerangi, sehingga apa yang terjadi pada Oswin Goleng harus menjadi peristiwa yang terakhir dan tidak boleh lagi terjadi di waktu yang akan datang.

,

 

KOMENTAR