Ketika Manusia Heningkan Hati Dan Budi Bersama Alam-Tanah, Rahim Bumi

Hila Bame

Thursday, 01-11-2018 | 19:02 pm

MDN
Ilustrasi (ist)

Oleh: Lina, FMM

( Sebuah refleksi )

Jakarta, Inako

Di Yogyakarta, ada satu gua Maria yang cukup dikenal, baik oleh orang-orang Katolik Yogyakarta dan sekitarnya, mau pun oleh orang katolik  di luar Yogyakarta yaitu gua Maria Jatiningsih, tepatnya di daerah Klepu-Yogyakarta.

Bagi anda yang pernah mengunjungi gua Maria ini, kiranya ingat tulisan pendek pada papan kecil yang dipajang persis disamping gua Maria yakni “Berdoa dengan hati yang hening dan budi yang bening”.

Pesan dari kalimat ini ditujukan kepada siapa saja yang datang di tempat ini hendaknya berdoa dengan hati dan pikiran yang  tenang dan hening, sikap pasrah dalam iman, seperti sikap beriman bunda Maria yang mengakui dirinya ‘hamba’ dihadapan Tuhan.

Untuk dapat berdoa dengan hati yang hening dan budi yang bening, tiap-tiap orang bisa berbeda-beda dan butuh proses sebagaimana kalau seseorang hendak melakukan meditasi yaitu dengan melakukan beberapa tahap latihan sehingga bisa membantu untuk sampai pada konsentrasi, antara lain memperhatikan posisi duduk dan sikap tubuh yang baik dan cocok sehingga bisa duduk nyaman, tenang mengatur nafas, bisa dibantu juga dengan mata tertutup dan sterusnya.

Dengan demikian, perasaan hati dan konsentrasi pikiran bisa pelan-pelan tenang dan hening, menghantar masuk ke dalam inti diri/realitas diri. Ada yang dirasakan/dialami, ada yang diterima dan diakui, singkatnya ada hal yang menjadi alasan untuk mengucapkan syukur kepada Sang Pencipta dan seterusnya.

Memandang langit yang biru, hamparan padang membentang luas, lautan tak bertepi, pemandangan indah barisan bukit-bukit dan warna-warni bunga, merdu suara kicau burung-burung di udara, merasakan sejuk hembusan angin, dengan sedikit kesadaran; sudah cukup mengantar-menyentuh nurani, melahirkan kesadaran dan rasa untuk mengetahui, mengagumi dan mengakui bahwa dia adalah makhluk yang kecil dan terbatas.

Begitu dalamnya rasa kagum seseorang akan indahnya alam ini dan mengagumi Penciptanya, sangat dimungkinkan jika manusia berhenti sejenak, hening bersama alam-tanah rahim bumi, menyadari realitas dirinya, mendengarkan apa ‘sabda alam-tanah, rahim bumi’ ini kepadanya.

Alam adalah ‘guru sempurna’ yang memberitahukan dan mengajarkan kita mengenai kebesaran, keindahan yang tak terbatas dan  keagungan Sang Pencipta.  Alam adalah bagaikan sebuah Alkitab yang indah (Laudato Si hal.9 no.12).

Hendaknya kita belajar dan berguru pada alam. Cipataan Allah yang paling sempurna mengucapkan syukur adalah alam semesta. Semua yang diciptakan memancarkan sinar keagungan Sang Pencipta. Tata surya menyanyikan madah pujian. Padang, hutan dan samudera, bukit, gunung, lembah dan margasatwa bersorak-gembira dalam satu nada pujian yaitu syukur kepada Sang Pencipta.

Pertama; Coba kita amati, setiap pagi, matahari menyapa Penciptanya dengan senyum yang penuh syukur, untuk memulai awal kehidupan. Ia memancarkan sinarnya, membangunkan seluruh makhluk hidup. Luapan cahayanya mengusir embun pagi, dan bumi pun disapa oleh matahari. Berdua menjanjikan kehidupan pada kita. Matahari selalu menepati janjinya menghilang bergantikan bulan dan keesokan harinya ia akan datang, selalu tepat, tak pernah ingkar. Berbagai macam jenis dan warna bunga-bunga menyapa Penciptanya dengan keindahan yang tiada tara, berbagai jenis suara burung-burung di langit maupun di darat bernyanyi dan bermadah, nada penuh syukur  hanya tertuju kepada yang Kudus.

Hal kedua yang yang kita pelajari dari alam adalah suatu keserasian dan keharmonisan. Sungai-sungai mengairi tumbuhan, hutan membendung banjir, matahari yang tak jemu memberi kehangatan, air yang menguap akibat panas matahari, dikembalikan oleh kerja sama antara awan dan angin. Kerjasama yang luar biasa indahnya. Dapatkah kita mengambil pelajaran dari semua itu?

Tengoklah burung yang tidak henti-hentinya memberi banyak manfaat kepada alam sekitarnya dimulai dari menjadi perantara terjadinya penyerbukan, menjadi bagian dari mata rantai makanan dengan memakan ulat atau serangga yang ada pada ranting atau daun tanaman, kotorannya menyuburkan tanah, suaranya memberikan keceriaan dan kebahagiaan pada manusia dan alam, gerakan terbangnya memberi inspirasi manusia sehingga mampu menciptakan kapal terbang.  Apa yang dilakukan burung semata-mata melaksanakan tugasnya taat kepada perintah Tuhan yang menciptakannya, tidak ada yang merugikan bagi lingkungannya dan Tuhan memberikan senantiasa rejeki untuknya dalam berbagai kondisi atau situasi hidup.

  1. ALLAH MEMELIHARA KITA dalam  dan MELALUI TANAH-RAHIM BUMI

Tanah itu hangat, dia seperti rahim ibu yang mempersiapkan, melindungi, menjaga dan memelihara sang bayi  sampai tiba waktunya sang bayi untuk hadir di bumi.  Demikian juga tanah adalah ‘rahim’ yang subur bagi alam ini yang ‘melahirkan’ banyak makhluk hidup berupa tanaman dan pohon-pohon.

Rahim bagi makhluk hidup termasuk manusia yang mencari tempat tinggal. Rahim–tanah yang subur, memungkinkan sesuatu bisa tumbuh dan hidup. Kita bisa tumbuh dan berkembang tidak terlepas dari andil beragam bahan makanan yang berasal dari tanah-rahim bumi. Lihat saja makanan pokok kita baik nasi, jagung, gandum  ataupun ubi yang semuanya bersumber dari alam-tanah. Sebagai pencuci mulut kita juga sering memilih buah-buahan segar dari alam-tanah.

Kalau rahim bumi tidak subur dan nyaris ‘punah’, humusnya yang subur dicemari racun limbah, diserap oleh akar kelapa sawit, tidak dapat lagi yang bisa ‘melahirkan’ untuk memberi kehidupan di bumi ini.

Tidak ada lagi yang dapat melayani dan memenuhi kebutuhan manusia. Bagaimana mungkin sepiring nasi, sepotong ikan, semangkuk sayur dan buah-buahan yang segar ada di meja  hidangan kita?

Satu kali kita makan, membutuhkan banyak jenis hasil bumi dan melibatkan  banyak orang yang bekerja untuk mengolahnya. Sekedar contoh, untuk mendapatkan seekor (sepotong) ikan; adalah berkat kerja keras sekian banyak  para nelayan yang semalaman menebarkan jala bertaruh nyawa di tengah samudera, para penjual di pasar, bibi (pembantu) yang pergi belanja dan mengolahnya dengan penuh kasih sehingga enak dinikmati.

Sepiring nasi, berkat para petani yang membakar tulang tersengat panas matahari dan  bermandikan keringat demi mengolah sejengkal tanah, menanam benih, merawat, memanen, dan seterusnya, sehingga tersedia lengkap di meja hidangan, siap disantap oleh para pejabat dan kerabatnya.

Namun sekarang bumi tak lagi hijau. Manusia tamak mengubah menjadi lautan api dengan pembakaran hutan di mana-mana.

 Bumi tak lagi tersenyum dan ramah melihat manusia berbondong bondong melukainya, ketika bahan peledak mereka sebar di laut menghabisi sebagian besar kehidupan bawah laut.

Bumi kecewa, bumi ‘takut’ ketika manusia tamak mendirikan pabrik padahal polusi yang dihasilkan itu mencemari udara.  Bumi marah bahkan berteriak…saat kapasitas manusia melebihi daya tampungnya.

Bumi sedih dan berduka tak lagi ramah, tak menjanjikan kehidupan senyaman dulu. Bumi merintih..Ia menangis..namun tak terdengar, tapi terasa..Tak terlihat, tapi teraba..Teriakkan bumi memang tidak memekakkan telinga, tetapi semakin bumi merintih, kita terus dipaksa untuk berfikir, kemanakah lagi kita harus berteduh.?

 

  1. SEMUANYA  ALAM BERIKAN KEPADA KITA

 Alam adalah dia yang memberi tanpa mengharapkan imbalan, ia selalu membuka dirinya untuk diambil dan dimanfaatkan

Sangat menarik untuk kita cermati, bahwa manusia dan alam tidak bisa dipisahkan. Namun kita manusia sebagai penghuni tanah-alam ini kurang peduli dengan alam yang ternyata banyak memberi penghidupan kepada semua penghuninya. Apakah yang ada pada kita yang tidak berasal dari alam? Semua yang ada pada tubuh kita berasal dari dan terbuat dari alam sebagai tanda bahwa alam menyelimuti kita dengan kasih sayang. Tapi, setiap hari juga kita membuang ke alam semua barang atau hal sisa yang kita ambil, terima bahkan curi darinya. Sangat jelaslah kita mengambil dari alam dan membuang ke alam tanpa meminta persetujuannya, dan tanpa berterima kasih atau meminta maaf  kepadanya.

Jika pada saat ini, alam mogok tidak mau memberikan kepada kita apa yang kita butuhkan, jika ia marah dan mengambil semua yang telah kita ambil atau curi darinya, atau jika ia tersinggung dan jengkel mengembalikan semua apa yang telah kita beri atau kita buang kepadanya? Apa yang akan terjadi?

Manusia belum puas dengan menikmati apa yang telah diberi oleh alam secara cuma-cuma, belum puas dengan apa yang dia ambil atau curi dari alam, belum puas dengan apa yang dibuangnya ke tengah alam, mereka pun sibuk bertengkar demi memperebutkan tanah-alam.

Perang tanding antarwarga, suku, atau negara soal batas kepemilikkan tanah, sungai, laut dan semua isinya saling mengklaim, adalah tanda bahwa terhadap alam, manusia tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih. Tidak sadar  bahwa alat-alat yang digunakan untuk berperang diambil dari alam.

Manusia mati karena perang, tanah-alam menerima mayatnya  entah dibiarkan tanpa terkubur, entah dikuburkan, entah ditabur ke laut, entah dibakar dan dihaluskan dalam mesin. Semuanya dikembalikan ke alam-tanah, rahim bumi.

Manusia ingin mendominasi dan menganggap alam sebagai objek; seringkali kita mendengar orang berkata: "ini tanah milik saya," ia tak pernah menyadari bahwa ia dimiliki oleh alam. Yang lain berkata: "ini tanah tumpah darahku," padahal darahnya itu ada karena air, sayur, buah, dan lauk-pauk hasil dari alam.

Dia menambahkan lagi kata tumpah, tumpah darah. Benarkah.?

Bukankah hanya Dia yang satu-satunya lambung-Nya ditikam dengan tombak oleh tangan yang berdosa, sehingga darah-Nya yang berharga, yang mahamulia, telah tumpah membasahi dan menyucikan bumi ini? (Yoh 19:34).

Tidak hanya darah-Nya, bahkan dengan sempurna Dia menyucikan tanah-alam ini dengan membenamkan tubuh-Nya yang mahakudus dan suci (Yoh 19: 41-42) di dalam tanah. Dia memberkati dan menyucikan tanah-alam ini dengan tubuh dan darah-Nya.

Bagaimana dengan manusia? Apa yang dia tumpahkan?

Yang sering dia tumpahkan setiap hari bukan darah, tetapi ludah dan muntah, bukan darah tetapi limbah hitam  yang bau, udara hitam dan kotor yang dimuntahkan dari sekian banyak pabrik.

Tidak sedikit manusia yang melubangi alam untuk mengambil apa yang diinginkannya. Dia tidak sadar bahwa ia melubangi alam dengan alat-alat yang berasal dari alam juga. Pada saat ia melubangi alam, dia makan dan minum dari alam. Manusia tidak sadar ketika ia berjalan ia dijunjung oleh alam, ketika ia duduk ia dipikul oleh alam, ketika ia tidur ia dipangku oleh alam, ketika ia mandi itu dibersihkan oleh alam, ketika ia sembuh dari sakit ia dilahirkan kembali oleh alam.

Manusia hidup dan mati berada di tanah-alam, rahim bumi.

Alam telah banyak berjasa untuk kita. Alam selalu menyediakan yang terbaik untuk kita dan memberi segalanya bagi kita. Saat manusia dilanda kebosanan akibat rutinitas hidup serta pekerjaan yang monoton dan terus-menerus, maka manusia akan segera mencari tempat ke alam terbuka.

Rasanya begitu menyenangkan bersepeda atau sekedar berolah-raga ringan dan berjoging melewati daerah pedesaan maupun pegunungan, menikamti sejuk udara yang bersih,  sepertinya beban berat dan stres hilang begitu saja saat kita mulai menjejakkan diri di alam terbuka yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian dan rutinitas

Alam telah banyak juga meringankan penderitaan batin kita yang sudah terlalu sumpek oleh kesesatan kita. Alam telah banyak menyembuhkan kita bukan hanya lewat pilihan bermacam herbal dan tanaman obat lainnya.

Bahkan air belerang yang murni berasal dari alam sudah terlalu sering kita manfaatkan untuk mengobati bermacam penyakit yang kita derita. Berbagai tempat pemandian dirancang khusus bernuansa alam dengan aneka macam terapi sehingga manusia bisa merasa seolah begitu dekat dengan alam.

Suasana rumah pun kerap dibuat bernuansa alam yang mendatangkan kenyamanan dan ketenangan bagi yang mendiaminya. Gaya ‘Back to Nature’ memang semakin menjadi pilihan masyarakat modern sekarang ini. Rumah yang dibangun selain dilengkapi kolam dan taman yang asri juga dicat dengan warna-warna yang natural.

Belum lagi hiasan dalam rumah yang dipilih bernuansa alam seperti lukisan pemandangan atau pajangan yang dilengkapi desiran air. Suatu tanda bahwa dilubuk hati sanubari setia manusia, kaya – miskin, tua-muda, yang sakit bahkan yang sehat sekali pun, medambakan, bahkan sangat membutuhkan alam yang indah, tanah yang subur, bersih dan hijau permai, untuk mendukung kehidupannya. satu hal yang pasti adalah dengan menghadirkan nuansa alam ke dalam rumah, diyakini bisa mendatangkan ketenangan dan ketenteraman lantaran alam memang sumber inspirasi bagi ketenangan jiwa dan memberi kesembuhan bagi jiwa yang lagi gundah-gulana.

Jika alam telah memberikan semuanya untuk kebutuhan kehidupan kita jiwa-raga, apa balasan kita? apa yang bisa kita buat? Paus Fransiskus melalui Ensiklik Lautato Si memberikan pesan yang sangat jelas dan tegas agar kita ikut memelihara tanah-rahim bumi sebagai rumah tinggal bersama. Tidak bisa tidak, demi kelangsungan hidup, rahim itu perlu sungguh dijaga bersama. Seperti menghemat air dan sumber daya alam, mengurangi pemakaian plastik, menanam pohon, makan secukupnya, belanja sewajarnya, tidak ikut arus “budaya mudah membuang”.  

Marilah kita melihat alam sebagi saudara, saudari, sahabat, ibu, dan rumah di mana manusia hidup dan berinteraksi. Merusak alam berarti merusak diri sendiri. Melukai alam berarti melukai diri kita sendiri. Alam sakit, manusia pun akan sakit. Alam menderita, manusiapun akan menderita. Keindahan alam, lebih dari cukup untuk menyejukkan  dan menyembuhkan hatimu yang bersedih dan terluka.

  • Jika engkau ingin mengenal Tuhan, maka renungilah tanda-tanda yang disebarkan di alam semesta ini

  • Mari jaga kelestarian alam, biarkan bumi ini kembali bernyanyi menyentuh nurani kita yang suci

 

 

 

 

 

KOMENTAR