Ketum PBNU: Potensi Produk Halal di Indonesia Sangat Luar Biasa

Sifi Masdi

Friday, 13-07-2018 | 19:17 pm

MDN
Ketum PBNU Said Aqil Siroj [inakoran.com/sifi masdi]

 

 

Jakarta, Inako

Ketua Umum Pengurus  Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr.  KH Said Aqil Siroj MA mengatakan bahwa potensi produk halal di Indonesia sangat luar biasa. Oleh karena itu, ia melihat kebutuhan akan sertifikat halal saat ini merupakan sebuah keniscayaan.

Ia menambahkan tujuan sertifikat halal  adalah agar masyarakat percaya dan tidak ragu dengan produk  yang digunakannya.

Seperti diketahui, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, ingin terlibat dalam menerbitkan sertifikat halal. Dalam rangka  mewujudkan rencana ini PBNU melakukan kerja sama dengan D&T36 Pte, Ltd, yang berkedudukan di Singapura, untuk meluncurkan produk-produk yang bersertifikat halal.

Said melihat bahwa pilihan PBNU untuk menjalin kerja sama dengan D&T36 sudah tepat, karena perusahaan tersebut dianggap kredibel. “Kami melihat sudah tepat sekali NU bekerja sama dengan D&T36. Dan kami juga percaya bahwa perusahaan Singapura kredibel dan sukses dalam segala pekerjaannya,” tutur Said kepada inakoran.com usai acara Halal Bihalal di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (3/7/2018).

 

Said yakin, keterlibatan NU dalam menerbitkan sertifikat halal merupakan upaya NU untuk mendukung dan membantu pemerintah. Pasalnya, pemerintah tidak bisa melakukan segala hal. Pemerintah perlu dibantu dengan kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat, seperti PBNU dan kekuatan lainnya.

 

Sebagaimana diketahui  keinginan Ormas Islam di Indonesia, seperti NU dan ormas lainnya terlibat dalam menerbitkan sertifikat halal mengacu pada Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). UU JPH yang disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 Oktober 2014 itu, mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) paling lambat tiga tahun setelah UU disahkan atau pada 2017.

 

UU JPH juga memberikan kesempatan kepada berbagai pihak (termasuk Ormas) untuk mendirikan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang berfungsi memeriksa atau menguji kehalalan produk. Syarat untuk mendirikan LPH memang cukup berat, yakni harus mempunyai kantor sendiri, harus diakreditasi BPJPH, memiliki minimal tiga auditor halal, juga harus punya akses atas laboratorium.

 

Menurut Mochammad Jasin, Irjen Kementerian Agama,  UU 33/2014 memberikan payung hukum terhadap sertifikasi halal yang selama ini tidak memiliki regulasi. Ia mengatakan berdasarkan UU JPH pasal 6 yang mengatur tentang wewenang BPJPH, pada huruf (c), jelas disebut bahwa BPJPH berwenang menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk. 

 

Selain soal kewenangan menerbitkan sertifikat halal, ada beberapa poin lain yang bakal menguntungkan pemerintah. Salah satunya, keberadaan BPJPH di bawah kendali Kementerian Agama yang bakal mempermudah pemerintah dalam melakukan audit. 

 

“Audit bisa dilakukan atas permintaan menteri agama atau jika ada laporan dari masyarakat terhadap penyalahgunaan kewenangan. Jika diketahui BPJPH melakukan jual-beli sertifikat halal, maka Inspektorat Jenderal Kemenag bisa mengusutnya,” kata Jasin.

 

Keuntungan lain, dana yang diperoleh dari sertifikasi halal bisa dimasukkan ke kas negara melalui jalur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Oleh sebab itu, nantinya besaran tarif proses sertifikasi bakal ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. “Selama ini aturannya tidak ada. Kita tidak tahu biaya (sertifikasi) tersebut masuk ke mana,” tambahnya.

 

 

 

KOMENTAR