Kolaborasi Jadi Kunci Atasi Susut dan Limbah Pangan

Hila Bame

Saturday, 31-10-2020 | 08:31 am

MDN

 

Jakarta, Inako

 

Berdasarkan Food Sustainability Index 2017 yang dirilis The Economist Intelligence Unit, Indonesia adalah penyumbang sampah makanan kedua terbesar di dunia setelah Arab Saudi.

Angka susut dan limbah pangan (food loss and waste) mencapai 300 kilogram beras per orang setiap tahunnya. Sayangnya, tanpa kita sadari, susut dan limbah pangan tidak sehat untuk bumi kita ini dan menjadi salah satu permasalahan yang ikut mempengaruhi laju perubahan iklim.


BACA JUGA:  

Menkeu SMI: Tegaskan Kembali Komitmen Indonesia Terkait Iklim dan Pentingnya Pemulihan Hijau


 

Food loss adalah sampah makanan yang berasal dari bahan pangan seperti sayuran, buah-buahan atau makanan yang masih mentah namun sudah tidak bisa diolah menjadi makanan dan akhirnya dibuang begitu saja.
 

Sementara food waste adalah makanan yang siap dikonsumsi oleh manusia namun dibuang begitu saja dan akhirnya menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir. Sampah tersebut menghasilkan gas metana dan karbondioksida.


 BACA JUGA:  

Usai mengambil plastik, suster-suster Bali ingin mengangkat tentang aksi iklim


Erika Torres LuquinHead of Agriculture Kedutaan Denmark mengatakan susut dan limbah pangan di Indonesia masih sangat tinggi, karena itu diperlukan pendekatan holistik untuk menemukan solusi.

 

"Indonesia telah sangat baik mengidentifikasi masalah pangan ini dan kami berharap kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Kedutaan Denmark untuk mengatasi hal ini dapat terus berlanjut," katanya pada webinar “Food Loss and Food Waste”, Kamis (29/10) dalam rangkaian Pekan Diplomasi Iklim Uni Eropa.

  BACA JUGA:  

Dalai Lama menyerukan aksi global terpadu untuk perubahan iklim

Pemerintah telah melakukan transformasi sistem pangan dari konvensional menjadi Ketahanan Pangan Berkelanjutan menuju 2025. "Sistem pangan ini terkoneksi dengan sistem lainnya yakni ekosistem, sosial ekonomi, lingkungan hidup," ungkap Ir. R. Anang Noegroho Setyo Moeljono, Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas.       

 

Jarot Indarto, Kepala Divisi Pertanian Bappenas mengungkapkan kerugian makanan untuk beras di Indonesia mencapai 5 persen dari produksi beras nasional, karena itu harus ada upaya untuk menekan hal tersebut.

 

Melalui sistem Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan diharapkan pada 2030 nanti Indonesia dapat mengurangi setengah dari angka susut dan limbah pangan," katanya.

 

Terkait dengan penanggulangan susut dan limbah pangan, Indonesia perlu untuk belajar dari Denmark yang sebelumnya telah berhasil mengurangi pemborosan pangan.

 Maria Dyrby NielsenProject Manager for Food Nation menyebutkan "Kunci sukses mengatasi isu ini yakni dengan kolaborasi membentuk kemitraan melibatkan semua pihak dan lintas sektoral mulai dari pemerintah, industri dan juga para peneliti," katanya.

 

Permasalahan Susut dan Limbah Pangan terhadap Gizi Masyarakat  dan Efek Rumah Kaca

 

Susut dan limbah pangan merupakan salah satu masalah besar yang dapat mempengaruhi kualitas gizi masyarakat.

Karena itu GAIN (Global Alliance for Improved Nutrition) Indonesia terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kepedulian terhadap susut dan limbah pangan menuju ketahanan pangan dan gizi di tingkat nasional hingga pelosok nusantara.

 

Rahmi KasriSenior Programme Manager, Gain Indonesia mengatakan, “Kerugian dan pemborosan makanan mengakibatkan gizi buruk.

 

Tak hanya itu. Hal ini juga berpengaruh terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca.” Sampah sisa makanan mengeluarkan gas metana ke atmosfer sehingga menyebabkan efek rumah kaca. 

 

The lntergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan sampah sisa makanan menyebabkan 8 sampai 10% emisi gas yang bertanggung jawab atas pemanasan global pada periode 2010-2016.

 

Sedangkan Valeria PoggiPolicy and Programme Officer, World Food Program mengingatkan perlu adanya aksi untuk mengatasi hal ini.

"Jika emisi rumah kaca terus meningkat dan tidak ada perubahan, ke depan kita harus memproduksi tambahan 50 persen pangan untuk bisa mencukupi kebutuhan populasi," katanya.  

 

Pekan Diplomasi Iklim 2020 berlangsung mulai 24 Oktober hingga 6 November mendatang,dan merupakan cara kreatif Uni Eropa dalam mengampanyekan perubahan iklim.

 

Tahun ini, Uni Eropa berkolaborasi dengan pemerintah Indonesia, 8 kedutaan besar negara-negara anggota Uni Eropa dan lebih dari 100 organisasi not-profit, kelompok pemuda, perwakilan komunitas, sektor swasta, selebriti dan opinion leader serta penggiat lingkungan.   

 

 

 

 

KOMENTAR