Komentar The Fed Bikin Harga Bitcoin Tertekan

Sifi Masdi

Thursday, 20-02-2025 | 13:58 pm

MDN
Ilustrasi mata uang Bitcoin [ist]

 

 

 

Jakarta, Inakoran

Harga Bitcoin (BTC) saat ini terjebak dalam rentang yang sempit, bergerak antara USD 94.000 hingga USD 100.000 (setara dengan Rp 1,625 miliar) selama 14 hari terakhir. Meskipun terlihat stabil, tekanan dari berbagai faktor eksternal, khususnya terkait kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) dan sentimen pasar yang lebih luas, semakin menekan harga kripto terpopuler ini.

 

Dalam pekan lalu, Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell, mengeluarkan pernyataan yang mengecewakan banyak investor dengan menegaskan bahwa suku bunga kemungkinan akan tetap tinggi lebih lama untuk menekan inflasi.

 

Komentar hawkish ini muncul sejalan dengan data inflasi tahunan AS yang mencatatkan kenaikan menjadi 3 persen pada Januari 2025, dengan inflasi inti mencapai 3,3 persen. Kenaikan inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan ini menambah kekhawatiran di kalangan pasar, sehingga memicu penurunan kapitalisasi pasar aset kripto hingga 5 persen dan membuat Bitcoin sempat jatuh di bawah USD 95.000 (Rp 1,54 miliar).

 


BACA JUGA:

Harga Minyak Naik Signifikan: Kamis (20/2/2025)

Harga Emas Antam Naik Rp 17.000: Kamis (20/2/2025)

Investor Kripto Menanti Pemangkasan Suku Bunga The Fed

Coinbase Raih Laba  Bersih USD 1,29 miliar di Kuartal IV-2024: Efek Donald Trump


 

Selama periode 10-14 Februari 2025, arus keluar dari perdagangan ETF Bitcoin Spot di AS mencapai USD 585,65 juta (setara dengan Rp 9,5 triliun), menurut data SoSoValue. Arus keluar ini menunjukkan bahwa investor mulai menarik dana dari produk investasi yang terhubung langsung dengan Bitcoin, sebagai tanda ketidakpastian dan kekhawatiran terhadap prospek pasar Bitcoin.

 

Financial Expert dari Ajaib, Panji Yudha, menyoroti bahwa Fear and Greed Index Bitcoin telah merosot ke zona Fear setelah rilis data Consumer Price Index (CPI), menandakan meningkatnya ketidakpastian di pasar.

 

Selama hampir dua minggu terakhir, Bitcoin tidak mampu menembus level USD 100.000 yang dianggap sebagai resistensi psikologis. "Pergerakan harga cukup tajam, di mana BTC berpotensi naik ke USD 105.000 jika mampu menembus resistensi psikologis di USD 100.000," terang Yudha.

 

Kondisi Pasar yang Volatil

Pekan ini, pelaku pasar kripto bersiap menghadapi data ekonomi AS yang dapat memicu volatilitas lebih lanjut. Fokus utama tertuju pada risalah FOMC Januari 2025 yang dirilis pada 19 Februari. Pernyataan Powell yang tidak terburu-buru untuk menurunkan suku bunga, meskipun ada tekanan dari Donald Trump, menjadi sorotan pasar.

 

Selain itu, laporan klaim pengangguran awal yang dijadwalkan pada 22 Februari akan menjadi indikator penting. Jika klaim pengangguran kembali naik setelah sebelumnya turun ke 213.000, pasar dapat mengantisipasi potensi pemangkasan suku bunga yang lebih cepat, yang bisa meningkatkan daya tarik Bitcoin sebagai aset alternatif.

 

Terakhir, data Sentimen Konsumen AS dari University of Michigan yang dirilis pada 23 Februari dapat mempengaruhi pasar. Optimisme konsumen dapat mendorong permintaan terhadap aset berisiko, termasuk Bitcoin. Namun, ekspektasi inflasi yang meningkat bisa membuat investor beralih ke aset yang lebih aman, memperkuat spekulasi bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama.

 

KOMENTAR