Masyarakat Disarankan Tidak Merawat Gigi Pada Tenaga Non-Profesional

Binsar

Monday, 08-10-2018 | 08:30 am

MDN
Ratusan dokter gigi mengikuti Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) ke-10 yang digelar Fakultas Kedokteran Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Jenderal Ahmad Yani di Hotel Trans Luxury Bandung, Sabtu (6/10/2018). [ist]

Bandung, Inako –

Masyarakat dihimbau untuk tidak melakukan perawatan gigi pada tenaga non-profesional, tetapi disarankan agar melakukan perawatan gigi pada tempat-tempat perawatan gigi yang dikelola tenaga profesional. Pasalnya, gigi termasuk organ tubuh yang sangat sensitif sehingga membutuhkan penanganan yang komprehensif oleh tenaga profesional, yakni dokter gigi sehingga tidak menimbulkan dampak negatif di kemudian hari.

Saran itu disampaikan dokter gigi (drg) Henri Hartman, sela-sela kegiatan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) ke-10 yang digelar Fakultas Kedokteran Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) di Hotel Trans Luxury Bandung, Jalan Gatot Subroto, Kota Bandung, Sabtu (6/10/2018).

"Kita kesulitan mengedukasi masyarakat agar tidak berobat ke tempat yang salah. Di Bandung banyak dokter gigi, tapi yang non-profesional juga banyak," katanya.

Henri melanjutkan, berdasarkan pengamatannya, saat ini terdapat begitu banyak tempat yang menawarkan perawatan gigi yang juga menjual produk-produk perawatan gigi tanpa melibatkan rekomendasi dokter gigi melalui media sosial (medsos).

 

"Tidak sedikit dokter gigi yang bertemu pasien dengan berbagai keluhan karena perawatan yang salah oleh tenaga non-profesional," ungkapnya.

Henri menjelaskan, perawatan maupun pengobatan gigi membutuhkan penanganan yang komprehensif oleh tenaga profesional. Sebab, kesalahan dalam perawatan maupun pengobatan bisa berdampak fatal untuk kesehatan gigi.

"Kadang-kadang kan yang tenaga non-profesional itu tidak terdaftar, lalu ada juga pekerjaan yang mereka kerjakan lebih dari seharusnya. Padahal, mereka ada batasannya," terangnya.

"Jadi, pemikirannya bukan hanya misalnya nih dibuatin gigi palsu atau pasang behel, nanti bisa jadi begini begitu. Tapi di balik itu kan harus ada yang dipikirkan (dampak terhadap kesehatan gigi), alerginya bagaimana, tidak sesederhana itu, jadi jangan gampang tergoda," beber Henri.

Oleh karenanya, lanjut Henri, melalui PIT ke-10 yang mengusung tema New Thinking In Dentistry, pihaknya juga mengajak masyarakat untuk mengubah cara pandangnya dalam merawat maupun mengobati giginya, yakni dengan langsung mendatangi dokter gigi.

"Gak semua dokter gigi itu mahal kok. Di fasilitas kesehatan pemerintah, puskesmas, juga ada dokter gigi. Anak-anak juga harus dikenalkan dengan dokter gigi, agar mereka tidak takut  merawat giginya," kata Henri yang juga dokter spesialis gigi anak itu.

Namun begitu, Henri enggan mengomentari soal kewenangan terkait menjamurnya praktik perawatan gigi oleh tenaga non-profesional. Dia hanya berharap, masyarakat paham terhadap perawatan maupun pengobatan gigi di tempat yang benar.

"Kalau yang non-dokter gigi, sebenarnya kita juga tidak mau ikut campur. Tapi kalau di lingkungan dokter gigi, kita ada komite etik, dokter gigi tidak dianjurkan beriklan, dokter gigi bukan tukang dagang," paparnya.

 

Sementara itu, terkait penyelenggaraan PIT ke-10, Henri yang juga Ketua Pelaksana PIT ke-10 itu menerangkan, event tahunan berskala nasional yang diikuti ratusan dokter gigi dari berbagai daerah di Indonesia ini bertujuan mengenalkan ilmu dan teknologi perawatan gigi terbaru bagi para dokter gigi.

"Ilmu kedokteran gigi ini selalu berkembang, jadi kita ingin mengenalkan teknologi perawatan gigi terbaru, termasuk meng-update peralatan perawatan gigi karena kita juga menghadirkan dental suplier," katanya seraya berharap, lewat kegiatan itu, para dokter gigi bisa memperbaharui ilmunya.

 

Baca juga :

 

KOMENTAR