Membaca Pertemuan Dewa dan DMS

Hila Bame

Saturday, 20-06-2020 | 23:06 pm

MDN

 

Oleh.  : Adlan Daie

Pemerhati dan peneliti politik elektoral Indramayu.

 

Jakarta, Inako

 

Pertemuan Dewa, panggilan politik H.Dedi Wahidi dengan  Daniel Muttaqin Syafiudin, sering dipanggil dengan inisial DMS, putera H Yance, tokoh politik berpengaruh di Indramayu, minggu kemarin, sebagaimana diceritakan Dewa kepada penulis tentu.menarik ditelaah  arah substansinya sekurang kurangnya tafsir politik pertemuannya dari sisi relasi politiknya di tengah makin tajamnya polarisasi kepentingan politik jelang pilkada 2020 yang tak jarang menampilkan keangkuhan prilaku dan bahasa politik tidak pantas dan miskin akhlak sengaja di blow up di platform sejumlah media sosial.


Pertemuan Dewa dan DMS di atas minggu kemarin mengingatkan penulis pada suasana sidang Konstituante tahun 1956-1959. Debat keras dan perbedaan posisi poltik yang tajam antara kelompok nasionalis seperti Soekarno, Supomo dan Radjiman dengan kelompok agama (Islam) seperti Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo dan A.Wahid Hasyim di sidang konstituante tentang pilihan dasar bernegara tidak menghalangi mereka pulang ke penginapan masing masing saling berboncengan sepeda penuh persahabatan. Tidak terlihat ada dendam kecuali perbedaan tajam tentang gagasan dasar bernegara. Indah akhlak politik mereka.

Dalam konteks akhlak politik anggota sidang konstituante di atas itulah penulis dalam varian derajat tertentu menisbatkan makna  silaturahim DMS ke.Dewa. Jabatan politis keduanya pada level yang sama sebagai sesama anggota komisi V DPR RI dan posisi politik yang berbeda tidak menyebabkan mereka angkuh dan tidak menghalangi DMS,  politisi yang lebih muda untuk menjalin silaturahim politik ke Dewa di satu pihak dan di pihak lain Dewa tidak bersikap ekslusif secara politik membuka diri kepada siapa pun meskipun berbeda warna politik atau bahkan mungkin kepentingan politiknya bersifat diametral dan paradoks satu sama lain.


Keterbukaan dialogis antara keduanya  dengan langgam pilihan komunikasi DMS berbahasa jawa kromo inggil bersifat cair dan penuh adab dan kemampuan Dewa meletakkan posisi politiknya sebagai politisi lebih senior dengan saling sharing pandangan tentang pilihan politik terkait kontestasi pilkada tentu ibarat oase sejuk di tengah banjirnya kekerangan politik verval di berbagai media sosial yang sesak mengotori suasana kebatinan publik. Pertemuan keduanya adalah pesan bahwa perbedaan posisi dan kepentingan politik tidak menghalangi kehangatan hubungan personal.keduanya. inilah potret kematangan politik.


Demikianlah seharusnya politik sebagaimana pandangan Thomas Aquinas dalam karyanya "Epistimology ethic politic" atau dalam teori Al Ghazali tentang "ilmu thariq al akhiroh", diletakkan pada level makna generiknya sebagai dasar etik dalam relasi sosial. Politik dimaknai bahwa perbedaaan bukan  permusuhan, bukan instrument perebutan kekuasaan secara bar bar dan kekerasan verbal. Justru politik.hadir sebagai jalan beradab dalam konteks suksesi  mengakhiri cara penaklukan perang secara primitif.  Intensi dan niat politiknya bukan dendam penaklukan melainkan kompetisi fair play untuk sebanyak banyaknya tebar kebaikan (fastabiqul khoerat)


Pertanyaan yang menggoda bagaimana jika jalan takdir politik menghadapkan keduanya dalam kontestasi pilkada 2020 justru posisi keduanya tidak memiliki intensi ambisius dalam intensitas loby politik dan tidak roadshow ke sana kemari mendaftar dalam.penjaringan sejumlah partai politik? Penulis sungguh percaya bahwa DMS dengan kematangan politiknya tahu bagaimana cara menghormati Dewa dan sebaliknya tentu Dewa paham pula bagaimana cara menyayangi DMS. Kearifan politik dan pemahaman mendalam tentang suasana kebatinan publik akan mengantarkan keduanya ke titik temu saling menghormati satu sama lain.


Pesan yang  hendak disampaikan dalam pertemuan Dewa dan DMS di atas setidaknya dalam perspektif tafsir penulis bahwa kontestasi pilkada adalah jalan peradaban politik bukan untuk penaklukan perang melainkan cara  "liabluakum ayyukum ahsanu 'amala", sebuah kontestasi gagasan untuk mencari siapa yang terbaik amal sosialnya di.ruang publik.


Karena itu, kontestasi politik tidak boleh berangkat dari.rasa dendam, tidak boleh mengklaim diri paling besar.dan merasa paling banyak.massa pengikutnya.kecuali bersifat kompetitif secara fair play, kontestasi gagasan, sharing kritik tajam tapi konstruktif dalam pilihan kebijakan publik dan cara.cara lain yang halal secara yuridis dan etis dalam kepantasan politik.


Marilah kita hadapi pilkada sebagai jalan peradaban politik dengan menjauhkan diri dari cara tidak halal karena pasti dilawan dengan cara tidak halal pula dan mencegah diri dari politik angkara murka yang tidak pantas (asal pokoke) hanya karena baper merasa paling hebat sendiri lalu melakukan zig zag politik yang merusak nilai keadaban dan martabat politiknya di mata publik.


Semoga bermanfaat.

TAG#ADLAN DAIE, #DEWA

190215951

KOMENTAR