Menimbang Pertemuan DEWA dan DMS

Hila Bame

Monday, 29-06-2020 | 16:01 pm

MDN

Oleh.  : Adlan Daie

Pemerhati dan peneliti politik elektoral Indramayu

Indramayu, Inako


Pertemuan Dewa, panggilan politik H.Dedi Wahidi dengan  Daniel Muttaqin Syafiudin, sering dipanggil dengan inisial DMS, putera H Yance, tokoh politik berpengaruh di Indramayu, minggu kemarin, sebagaimana diceritakan Dewa kepada penulis tentu.menarik ditelaah arah substansinya sekurang- kurangnya tafsir politik pertemuannya dari sisi relasi politiknya di tengah makin tajamnya polarisasi kepentingan politik jelang pilkada 2020 yang tak jarang menampilkan keangkuhan prilaku dan bahasa politik tidak pantas dan miskin akhlak sengaja di blow up di platform sejumlah media sosial.


Dalam derajat tertentu, pertemuan Dewa dan DMS di atas mengingatkan penulis pada suasana sidang Konstituante tahun 1956-1959. Debat keras dan perbedaan posisi poltik yang tajam antara kelompok nasionalis seperti Soekarno, Supomo dan Radjiman dengan kelompok agama (Islam) seperti Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo dan A.Wahid Hasyim di sidang konstituante tentang pilihan dasar bernegara tidak menghalangi mereka pulang ke penginapan masing masing saling berboncengan sepeda penuh persahabatan.  Indah dan bermartabat akhlak politik mereka.

Demikianlah penulis mempertautkan makna silaturahim DMS ke-Dewa. Artinya, politik sebagaimana pandangan Thomas Aquinas dalam karyanya "Epistimology ethic politic" atau dalam teori Al Ghazali tentang "ilmu thariq al akhiroh", harus diletakkan pada level makna generiknya sebagai dasar etis dalam relasi sosial politik. Tidak angkuh meskipun posisi jabatan politik sesama anggota komisi V DPR RI dan saling membuka diri betapa pun posisi politiknya berbeda dalam konteks pilkada atau bahkan mungkin  bersifat diametral dan paradoks satu sama.lain.

 

BACA JUGA:  

Menteri Erik Ingin BUMN Hanya Berjumlah 70 Perusahaan Saja


Pertanyaannya bagaimana jika jalan takdir politik menghadapkan keduanya, terlebih jika bersifat head to head dalam kontestasi pilkada 2020? Sebuah pertanyaan menggoda untuk dianalisis dalam standar riset elektoral berbasis data demografis, bukan asumsi instan terkait isu tertentu atau kerumunan publik sesaat meskipun dalam perspektif penulis pertanyaan di atas terlalu dini dan melompat. Justru yang  menarik ditelaah adalah peta jalannya terkait problem-problem tidak sederhana yang dihadapi baik oleh Dewa maupun DMS pra kontestasi pilkada 2020.


Hingga hari ini posisi politik Dewa bersifat pasif, tidak mondar mandir loby, tidak  mendaftarkan diri dalam penjaringan partai politik dan tidak  mengiklankan diri dalam bentuk baliho di pinggir jalan meskipun godaan dan pinangan datang bertubi tubi. Ruang yang tersisa untuk Dewa maju hanyalah penugasan partai tentu dengan segala konsekuensi penugasannya untuk menghindari jebakan rentenir politik saat kelak terpilih menjadi bupati agar tidak menyulitkannya  memaksimalkan fungsi fungsi pemerintahan dalam pembangunan dan pelayanan publik. Inilah kerisauan Dewa selama ini.


Disisi lain,  sejauh pengamatan penulis DMS hingga kini masih tersandrra psyikhologis restu sang ibunda dan suka tidak suka pasca OTT KPK dihadapkan pula pada framing opini publik yang tidak sederhana terkait posisinya secara "given for granted" putra dari H.Yance, hingga memicu ledakan konflik tajam di internal partai Golkar, partai dimana DMS  menggantungkan harapan ke atas sekaligus mesin penggerak ke.bawah. Pilihannya pun cenderung sempit karena mengunci posisi wakilnya pada tokoh tertentu  sebagaimana lazim dilakukan ayahandanya dalam tiga kali pilkada langsung.


Di luar problem-problem yang dihadapi baik Dewa dan DMS di atas pesan yang  hendak disampaikan dalam pertemuan keduanya setidaknya dalam perspektif tafsir penulis bahwa kontestasi pilkada adalah jalan peradaban politik bukan untuk penaklukan perang melainkan cara  "liabluakum ayyukum ahsanu 'amala", sebuah kontestasi untuk mencari siapa paling layak ditunggu kontribusi amal sosialnya di.ruang publik.


Karena itu, jika niscaya jalan takdir politik menghadapkan keduanya dalam kontestasi pilkada 2020 penulis sungguh percaya bahwa DMS dengan kematangan politiknya tahu bagaimana cara menghormati Dewa dan sebaliknya tentu Dewa paham pula bagaimana cara menyayangi DMS. Kearifan politik dan pemahaman mendalam tentang suasana kebatinan publik akan mengantarkan keduanya ke titik temu yang mungkin sangat sulit dibaca hari ini ending politiknya.


Maka, marilah kita hadapi pilkada sebagai jalan peradaban politik dengan menjauhkan diri dari cara tidak halal karena pasti dilawan dengan cara tidak halal pula. Dinamika "perang" opini di platform media sosial anggaplah harga yang harus kita bayar sebagai proses pematangan demokrasi agar kokoh dan tidak "cultural shock", tidak mudah kaget dan baper diri hingga merusak nilai keadaban dan martabat politiknya di mata publik.


Semoga bermanfaat.

TAG#ADLAN DAIE

190215931

KOMENTAR