NU, Jokowi dan Oligarkhi Politik

Oleh. : Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat
Indramayu, Inako
Perjalanan reformasi politik selama 20 tahun sejak pertengahan periode pertama dan puncaknya memasuki awal periode kedua rezim Jokowi mulai bergeser dan bertransformasi ke oligarkhi politik. Dalam perspektif Prof. Jefry Wintes, analis politik di Northwestern University, oligarkhi politik ditandai minimal dua hal, yakni, pertama kekuasaan dan kekayaan sulit dipisahkan dan kedua kekuasaan oligarkhis memiliki daya jangkau yang luas dan sistemik meskipun secara sosial berstatus minoritas.
Pemerintahan rezim Jokowi adalah praktek gaya baru politik oligarkhis. Kekuasaan dan kekayaan berkelindan sambung menyambung menjadi satu kesatuan sistemik dalam sebuah orkestrasi rezim politiknya. Partai politik ditumpuk di lingkar kekuasaannya, media mainstream dan media online milik para taipan pendukungnya diarahkan membranding apik sosok merakyat dan gaya blusukannya sekaligus melemahkan oposisi politiknya, lembaga survei dan penggiat media sosial dikendalikan ibarat paduan suara mengarahkan opini publik untuk memuja dan memujinya.
Politik oligarkhis inilah yang dulu digambarkan Gusdur sebagai demokrasi, seolah-olah sebuah ritual demokrasi prosedural dalam formalisme ketatanegaraan, tidak substantif dan tidak korelatif dengan hajat hidup politik rakyat yang memandatkan suaranya pada pemegang mandat kekuasaan politik. Kepentingan publik hanya diperhatikan jika tidak mengganggu kepentingan oligarkhi politiknya. Politik sebagai jalan mulia dan beradab untuk mengadvokasi kepentingan publik di tangan oligarkhi politik berubah 180 derajat menjadi alat proteksi kepentingan bisnis oligarkhi politiknya.
Dari sini kita dapat memahami mengapa begitu mudah rezim Jokowi mengamputasi daya gigit KPK melalui revisi Undang-undang KPK dan pemilihan unsur pimpinannya. Partai politik, media mainstream dan aktivis media sosial diam dan absen suara kritis dan daya gugatnya, termasuk atas bangkrutnya BUMN Jiwasraya, amburadulnya management BUMN-BUMN, timpangnya penguasaan lahan dan kekayaan sumber daya alam, tertindihnya rakyat oleh naiknya tarif dasar listrik, iuran BPJS dan makin melebarnya gini rasio kaya miskin dan lain lain.
Sejarawan moralis Inggris, John Emirech Lord Action sangat mengkhawatirkan daya jangkau politik oligarkhis ini. Lord Action mengingatkan bahwa power tends to currupt, absolute power curruption, kekuasaan cenderung koruptif. Makin besar dan absolut kekuasaannya makin absolut pula modus dan pola kreatif koruptifnya. Pointnya, politik oligarkhis harus dijauhkan mengotrol proses demokrasi untuk mencegah effect daya rusaknya yang akan ditanggung dan dipikul beban rakyat secara lahir dan batin.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam dan sosial kemasyarakatan (Jam'iyah diniyah wal ijtima'iyah), sebuah kekuatan politik masyarakat sipil berbasis paradigma Islam moderat harus hadir menjadi pelopor untuk mengkukuhkan kembali prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara ke fitrah awal berdirinya, yakni Pancasila. Pancasila harus hadir dan dihadirkan tidak sekedar wacana dan jargon, apalagi untuk alat pukul bagi oposisi politik, melainkan menjadi ruh menjiwai seluruh produk Undang-undang dan turunannya.
Nahdlatul Ulama (NU) dengan rekam jejaknya, terbukti tidak memiliki cacat historis dan menjadi bagian penting dalam sejarah perjalanan bangsa, memiliki kapasitas politik untuk memprakarsai halaqah kebangsan
dengan melibatkan komponen lintas ormas, suku, agama, para pakar, akademisi dan lain-lain untuk mengawal nilai-nilai Pancasila secara etik dan aplikatif dalam memproteksi kepentingan publik, bangsa dan negara dari jangkauan kekuasaan politik oligarkhis.
Politik oligarkhis hanya akan mengukuhkan penguasaan segelincir elite atas kekayaan sumber daya alam, tata kelola ekonomi makin liberaistik dan kapitalistik, pengusaan lahan negara makin timpang, jurang pemisah kaya,miskin atau gini rasio ekonomi masyarakat makin melebar tajam dan sirkulasi elite politik hanya akan berputar di lingkatan elite oligarkhi politik.
Tugas dan tanggungjawab NU bersama elemen masyarakat sipil lainnya saatnya hadir mengembalikan arah kehidupan berbangsa dan bernegara tetap dalam semangat cita-cita proklamasi kemerdekaan yang tertuang dalam pemukaan UUD 1945, yaitu membentuk pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah cita-cita mulia yang coba mulai dimanipulasi oleh segelintir elite oligarkhi politik.
Semoga bermanfaat.
TAG#Indramayu, #NU, #Presiden Jokowi
190215198

KOMENTAR