OTT KPK, Pendaftaran Bacabup dan Kesadaran Kolektif

Oleh : H. Mahpudin, SH., MM., M.Kn.,
Indramayu, Inako
Kasus yang mendera Bupati Indramayu non aktif, H. Supendi dan kroninya dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah menjadi pengetahuan umum di sebagian besar warga Indramayu. Epicentrum perkaranya juga sudah diketahui publik yaitu pada soal gratifikasi dalam pengaturan proyek pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Dinas PUPR) Pemerintah Kabupaten Indramayu. Persidangan di muka Pengadilan Tipikor Bandung pun sudah digelar dan terbuka untuk umum. Berita Acara Perkara (BAP) dan keterangan saksi sudah dibuka, didengar dan diketahui publik. Dan menjadi perbincangan viral dijejaring sosial media.
H. Supendi adalah korban (sebagai bentuk empati saya) dari sistem politik yang dianut dan diterapkan oleh bangsa ini terkait dengan tidak adanya larangan yang diatur oleh Undang-Undang terhadap pejabat publik untuk tidak berdempet kepentingan dengan jabatan lainnya. Kalau saja H. Supendi tidak berdempet kepentingan pada dirinya yang juga menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar Indramayu, maka apa perlunya ia (dalam BAP dan keterangan saksi serta dokumen kredit terdakwa “Mang” Carsa yang merekayasa) mengajukan pinjaman/kredit ke BPR Karya Remaja yang pencairannya menjelang Pemilu dengan pecahan nominal Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah). Dempetan kepentingan yang menghimpit sebagai tuntutan kewajiban atas jabatan selaku ketua partai menyebabkan ia mengorbankan jabatan bupatinya, bukan untuk kepentingan memperkaya dirinya. Berbeda konteksnya dengan Kepala Dinas PUPR dan bawahannya yang melelang (menjual) proyek-proyek kepada pengusaha penyedia jasa secara “ijon” dan mengkondisikan pemenang lelangnya demi kepentingan memperkaya dirinya dan orang lain atau paling tidak untuk mengembalikan “modal disetor” ketika hendak menduduki jabatan kepala dinas.
Berbeda pula konteksnya dengan Direktur Utama BPR Karya Remaja dan para pegawainya yang sudah memberikan keterangan di muka persidangan. Dan Direktur Utama PDAM Tirta Darma Ayu yang juga terseret pada pusaran kasus OTT KPK ini. Dua perusahaan milik daerah (BUMD) yang pada perspektif awam menimbulkan pertanyaan apa hubungannya dua perusahaan BUMD ini dengan pokok perkara ? saya tidak hendak berandai-andai untuk menjawab soal ini. Toh nanti akan terbuka dan terjawab dengan sendirinya pada persidangan-persidangan berikutnya.
Fenomena korupsi di kalangan pejabat publik sudah menjadi gelaja umum di negeri ini. Dan karena sudah menjadi fenomena umum, maka menjadi suatu kelaziman. Sesuatu yang sudah menjadi lazim, maka sesuatu itu akan dianggap sesuatu yang biasa saja. Oleh karenanya walaupun korupsi itu termasuk dalam tindak pidana luar biasa dalam teori dan efeknya, tetapi dalam pandangan awam dianggap biasa-biasa saja. Dan kita sebagai rakyat cenderung bersikap apologetis (bersifat pemaaf – terhadap tindakan biadab sekalipun) terhadap para koruptor. Sebegitu dahsyatnya kasus OTT KPK ini, tetapi faktanya tidak ada gerakan yang masif dalam merespon kasus ini baik dari rakyat maupun dari elit partai oposisi. Berbanding terbalik dengan kasus OTT KPK yang menyeret Bupati Cianjur, di mana aksi massa begitu spontan dan masif. Kasus OTT KPK di Indramayu kalaupun mempunyai “daya kejut” hanya berefek pada sunyi senyapnya suara internal kader Golkar dan tiarapnya para birokrat.
Menarik untuk diperbincangkan dalam perkara ini adalah kaitannya antara OTT KPK dan pendaftaran bakal calon bupati/wakil bupati (bacabup) yang digelar oleh DPD Partai Golkar Indramayu dengan kesadaran kolektif warga masyarakat Indramayu. Pertanyaan yang muncul bagi nalar kritis adalah kenapa partai yang pucuk pimpinannya terkena kasus korupsi (dalam variabel negatif) tetapi mendapat respon yang fantastis dari warga masyarakat yang mengambil formulir pendaftaran sebagai peserta kontes bakal calon bupati/wakil bupati (dalam variabel positif)? Sebagaimana yang dilansir oleh media online, Fokuspantura.com : Pendaftar Calon Bupati Partai Golkar Indramayu Membludag.
Dua variabel yang berlawanan sebagai fakta sosial ini bisa didekati dari sudut pandang teori sosiologinya Emile Durkheim (1858-1917) pada buku teks utama ilmu sosiologi The Rules of Sociological Method yaitu tentang pengamatan terhadap fakta sosial. Yang membagi pada dua pendekatan, maka saya menggunakan pendekatan yang kedua, yaitu pengamatan subyektif terhadap obyek berlandaskan ide kita terhadap fenomena (obyek) tersebut.
Membludagnya calon yang mengambil formulir pendaftaran bakal calon bupati atas dibukanya pendaftaran bacabup oleh Partai Golkar Indramayu, yang sampai batas akhir berjumlah 17 (tujuh belas) orang yang daftar mengambil formulir, menunjukan suatu fakta bahwa kasus OTT KPK di Indramayu tidak berdampak secara signifikan terhadap citra Partai Golkar di mata publik. Mengkonfirmasi bahwa tindak pidana korupsi dan para pelakunya tidak dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Kecenderungan sikap publik yang apologetis terhadap pelaku korupsi menyebabkan perilaku korup menggejala dan menjadi “budaya” di kalangan pejabat dan para penyelenggara negara dari pusat sampai daerah.
Partai Golkar Indramayu sebagai partai penguasa daerah dengan perolehan 22 kursi DPRD, satu-satunya partai yang tidak membutuhkan mitra koalisi menjadi magnet kuat bagi para pemburu kekuasaan. Menjadikan Partai Golkar sebagai kendaraan politik paling efektif untuk meraih kekuasaan sebagai bupati dan wakil bupati Indramayu. Meng-eleminasi aspek etik bagi calon yang secara garis politik dan idiologi berseberangan secara personal sekalipun. Bagi partai Golkar Indramayu fakta ini menunjukan indikator yang menggembirakan disamping mengkonfirmasi langkah terobosan improvisasinya mendapat legitimasi publik atas “belenggu” psikologis akibat “tsunami politik” yang menerpanya atas kasus OTT KPK. Hal ini pun menunjukkan fakta atas ketidakmampuan elit partai oposisi yang menamakan dirinya poros perubahan. Ketidakmampuan mentransformasi kesadaran kolektif di dunia maya jagat sosial media ke dalam dunia nyata fakta sosial di lapangan.
Kesadaran kolektif warga masyarakat atas nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan, utamanya pada aspek keadilan ekonomi dan politik, menemukan momentumnya pada kasus OTT KPK ini tetapi tidak mampu dikonversi oleh para elit poros perubahan. kenapa ? karena sangat mungkin pada “kerumunan poros perubahan” pun kondisi mental dan integritasnya sama dengan kondisi yang ada di “posisi petahana dan barisan birokrasi” yang bermental korup. Lantas kepada siapa rakyat harus mengadu dan berharap untuk memperjuangkan nasib kesejahteraan dan keadilan di bidang ekonomi dan sosial politiknya ?
Apakah rakyat harus selalu dalam posisi yang lemah ? bukan hanya pada aspek ekonomi dan politik yang bersifat duniawi, hatta sampai pada urusan keimanan pun rakyat dalam posisi lemah iman, karena tidak punya kemampuan untuk merubah keadaan ketika melihat kemungkaran politisi dan birokrasi yang melakukan korupsi. Sebagaimana yang sudah sangat hafal dan familier terhadap pesan Hadits Nabi berikut ini : “ Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman” . (HR. Muslim no. 49)
Wallohu A’lam Bisy-syowab.
Penulis adalah Dosen Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Advokat anggota PERADI Indramayu,
Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Indramayu
TAG#Indramayu, #Bacabup, #Partai Golkar, #Ott, #KPK
190215985

KOMENTAR