PDIP Nilai Kubu Prabowo Sudah Kehilangan Isu Politik Identitas di Pilpres 2019

Sifi Masdi

Monday, 20-08-2018 | 14:32 pm

MDN
Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno [ist]

Jakarta, Inako

Politik identitas diperkirakan merupakan salah satu isu yang terus menjadi fokus pada pertarungan Pilpres 2019. Setidaknya, kubu Prabowo berhasil memenangkan pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 lalu berkat politik identitas. Tetapi politik identitas tersebut justru membuat warga DKI selama beberapa saat terbelah antara pendukung Anies dan Pro Ahok. Apakah politik identitas dalam Pilpres 2019 nanti tetap menjadi jualan utama dari masing-masing kubu untuk menjatuhkan lawan?

Dalam diskusi publik dengan tema 'Lanskap Politik Nasional Pasca Pengumuman Capres-cawapres: Strategi, Tantangan, dan Peluang Elektoral di Pemilu 2019', di Kantor CSIS, Jakarta Pusat, Senin (20/8/2018), Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira, yang hadir sebagai salah satu narasumber, mengatakan bahwa  ada empat variabel yang mempengaruhi lanskap politik pasca pengumuman pasangan capres-cawapres pada 9 Agustus 2019 lalu.

Variabel pertama adalah politik identitas. 

"Banyak hal yang mengejutkan karena memang dinamika yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan itu sangat dipengaruhi banyak faktor, salah satunya faktor politik identitas. Suka tidak suka faktor identitas yang ikut menentukan perubahan yang terjadi," ujar Andreas.

Dalam diskusi ini hadir juga narasumber lain seperti Ketua DPP PAN Viva Yoga Mauladi, Waketum Gerindra Ferry Juliantono, Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate, dan Peneliti Senior CSIS J Kristiadi. 

Menurut Andreas, suka tidak suka, politik identitas mempengaruhi lanskap politik Pilpres 2019. Terutama, lanjutnya, saat Joko Widodo (Jokowi) memutuskan memilih Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya.

"Ini bisa menjawab perubahan yang terjadi bahwa politik identitas terjawab di kubu Jokowi. Pak Ma'ruf bisa menjawab politik identitas. Sementara selamat tinggal politik identitas. Siapa yang bahas politik identitas jadi bumerang? Artinya kubu Pak Ferry kehilangan isu. Kehilangan isu untuk bicara politik identitas," katanya. 

Variabel kedua, kata Andreas, adalah proses pemerintahan. Proses pemerintahan menjadi salah satu isu yang mempengaruhi perubahan lanskap politik di Indonesia pasca Jokowi dan Prabowo Subianto mengumumkan pasangannya. 

"Saya selalu perhatikan kubunya Ferry selalu bicara soal janji-janji yang belum terpenuhi. Lebih baik kita bicara di wilayah ini. Dalam arti posisi koalisi Pak Jokowi adalah defensif, menjawab kritik-kritik dari Kubu Pak Prabowo. Di sini wilayah pertarungan yang menarik dan jauh lebih sehat daripada politik identitas," tutur Andreas. 

Variabel ketiga yang mempengaruhi lanskap politik adalah tren milenial. Andreas mengatakan, perebutan suara tren milenial menjadi salah satu isu yang menarik.

Sebab, kata Andreas, ada kurang lebih setengah pemilih pada Pilpres 2019 merupakan generasi milenial. Hal itu membuat pasangan calon ramai-ramai menawarkan representasi milenial. 

"Kalau di lihat di kubu Jokowi, ada Jokowi yang representasi milenial, di mana Pak Jokowi yang selalu pakai sneaker, kemarin di pembukaan Asian Games dengan gaya milenial naik motor. Karena nggak ada yang bisa dikritik lagi. Ini adalah gaya untuk merebut milenial," kata Andreas. 

"Tapi kubu Prabowo, ada Sandi yang menampilkan gaya milenialnya untuk merebut pemilih milenial," lanjutnya. 

Lebih lanjut, variabel keempat yang membangun lanskap politik adalah political behave atau perilaku politik dari capres-cawapres. Ia pun menyinggung bahwa pemilihan Ma'ruf Amin sebagai pendamping Jokowi sudah sangat tepat. 

"Pilihan terhadap Ma'ruf adalah pilihan tepat. Suka tidak suka. Meskipun ada yang suka Mahfud MD itu soal selera. Ini adalah komplit antara milenial dan tradisional, jadi gimana mengemas pak Ma'ruf lebih milenial, ikat pinggangnya mungkin lebih milenial, sarungnya. Tapi paling tidak ini tradisional kultural adalah jawaban atas pertanyaan politik indentitas dan tidak ada lagi beban Jokowi untuk agama dan identitas," jelas Andreas. 

Selain empat variabel di atas, Andreas juga mengatakan, faktor kekuatan pendukung yang terdiri dari partai politik dan relawan juga menjadi penting dalam membangun lanskap politik pascapengumuman capres-cawapres. Dari segi parpol, ditambahkannya, kekuatan Jokowi lebih unggul dibandingkan Prabowo. 

Kemudian dari segi kesiapan relawan, Andreas menilai Jokowi juga lebih unggul dibanding Prabowo. Relawan Jokowi disebutnya masih terawat dengan baik sejak Pilpres 2014. 

"Tapi di kelompok parpol militansi itu penting, pertama PDIP dan PKS. Nah dari situ militansi parpol itu penting. Saya tidak tahu di tempatnya Pak Prabowo dengan tidak ada perwakilan PKS, apakah militansi masih ada seperti jabat kemarin. Sedangkan Jokowi soliditas awal juga mempengaruhi dan militansi partai cukup solid dalam mendukung koalisi Jokowi dan Ma'ruf," pungkasnya. 

 

KOMENTAR