Pengamat Sebut Penerimaan Pajak Tak Pernah Capai Target

Jakarta, Inako
Kinerja perpajakan tanah air dituding belum maksimal. Penerimaan pajak tak pernah capai target menjadi salah satu bukti nyatanya.
Managing Partner Danny Darussalam Tax Canter (DTTC), Darussalam mengatakan di akhir 2018 saja penerimaan pajak hanya 92% dari total target yang sebesar Rp 1.424 triliun dalam APBN, yakni Rp 1.315,9 triliun.
"Kalau bicara kinerja pajak ada dua tolak ukur; pertama tax effort dan kedua tax ratio," ujarnya dalam diskusi perpajakan di Kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (4/3/2019).
"Kalau teman-teman lihat, banyak ahli melakukan perhitungan tentang tax effort. Maksudnya, pajak yang bisa digali dibanding potensinya yang ada. Tax effort kita hanya 43%, artinya 57% potensi pajak belum tergali. Kalau sekarang target APBN kita pada tahun 2019 Rp 1.577 triliun, berarti seharusnya potensi pajak yang bisa digali dua kali lipat. Artinya kalau kita serius kelola pajak di negara kita, kita bisa jadi negara mandiri dengan pajak. Dari sisi potensi, kinerja pajak kita tidak bagus."
"Kedua dari sisi tax ratio, angkanya juga menunjukkan kinerja pajak kita tidak bagus. Tax ratio, penerimaan pajak dan bea cukai, angkanya 10,3%, kalau ditambah PNBP atau SDA angkanya jadi 11,5%. IMF menyarankan angka standar minimal 12,75% sampai 15%."
Lebih dalam lagi ia menjelaskan, terdapat beberapa titik kebocoran yang membuat kinerja pajak tidak maksimal.
Pertama, kebocoran karena adanya shadow ekonomi. Ini adalah istilah untuk sektor ekonomi yang tidak bisa dipajaki, biasanya terjadi pada sektor ekonomi baru dan belum ada aturan pajaknya. Darussalam menyebutkan, sejak tahun 1999 sampai 2003 terdapat sekitar 18,9% shadow ekonomi yang tidak tercatat dalam PDB.
"Contohnya shadow ekonomi itu fenomena digital ekonomi, itu shadow ekonomi sebab susah untuk memajaki digital ekonomi. Kemarin PMK 210 belum diterapkan tapi sudah dicabut, padahal PMK 210 itu cara berpikirnya bagus, sebab pemerintah sadar digital ekonomi susah dipajaki, jadi pemerintah berkepentingan mengambil data untuk pajak. Kan itu ada aturan market place memberi data ke pemerintah. Ini salah satu upaya mengurangi shadow ekonomi."
"Saya menyayangkan ini dicabut, di samping untuk mengambil data, juga membuat tidak ada perbedaan aturan pajak antara transaksi konvensional dan digital."
Kedua, kebocoran sebagai akibat dari perang tarif pajak antar negara. Darussalam menyebutkan, hampir seluruh negara saat ini 'berlomba-lomba' menurunkan tarif pajak, termasuk Amerika Serikat yang menurunkan tatif pajaknya dari 35% menjadi 21%.
Jika Indonesia ingin turut serta dalam 'perlombaan' ini, Darussalam menekankan pentingnya memperluas basis pajak, dan tidak menurunkan lebih rendah dari standar yang berlaku di Asia.
"Apakah Indonesia ikut berlomba-lomba menurunkan tarif pajak? Saya tidak mempermasalahkan itu, tapi basis pajak harus diperkuat; subjek pajak ditambah, ekstensifikasi, dan objek pajak diperluas, kalau tidak, subjek pajaknya itu-itu saja, tapi target tiap tahun naik. Penerimaan pasti turun."
"Kedua, kalau Indonesia ingin turunkan tarif pajak, Singapura bukan tolak ukur, tapi sebagai gambaran, rata-rata PPh badan 24%, di ASIA 21,2%, ASEAN 22,3%, dan negara-negara EOCD 23,5%. Kalau Indonesia mau turun ya bertahap, tapi tidak bisa lebih rendah dengan ASEAN tadi. Karena pajak itu bukan hal utama orang mau berinvestasi atau tidak, tapi stabilitas ekonomi - politik. Jadi perlombaan tarif pajak menyebabkan kebocoran kalau kita tidak berhati-hati."
Selain itu, titik kebocoran lain terjadi karena offshore tax evation, Based Erotion Provit Shifting atau BEPS, dan kebocoran dalam hal melaporkan pajak yang tidak sesuai dengan aturan. Namun, ketiganya sudah memiliki solusi yang cukup konkret.
TAG#Kementerian Keuangan, #Pajak, # APBN
198731708
KOMENTAR