Penggunaan Panel Surya di Atap Bisa Hemat Tagihan Listrik 30%

Jakarta, Inako
Pelanggan listrik PLN akhirnya bisa menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Kelebihan dayanya bisa diekspor ke PLN untuk meringankan tagihan di bulan berikutnya.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatur hal tersebut dalam Permen nomor 49 Tahun 2018.
Kebijakan ini diperkirakan bisa membuat tagihan listrik pelanggan lebih ringan. Bagaimana hitung-hitungannya?
Pelanggan PLN bisa menghemat tagihan listrik hingga 30% dengan menggunakan PLTS atap. "Minimal kita bisa berhemat 30%," kata Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana di Kantor Ditjen Ketenagalistrikan, Jakarta Selatan, Rabu (28/11/2018).
Pelanggan bisa berhemat lantaran kelebihan daya yang dihasilkan dari PLTS atap bisa diekspor ke PLN. Listrik yang berlebih itu disimpan ke jaringan PLN dan digunakan sebagai pemotongan biaya pada bulan selanjutnya. Dengan demikian tagihan listrik akan jauh lebih murah.
Yang perlu dicatat, daya listrik yang diekspor tidak dalam kapasitas yang sama. Misalnya yang diekspor sebesar 200 kWh, itu dikali 65%, yakni sebesar 130 kWh. Itu lah yang akan digunakan untuk mengurangi tagihan listrik.
Rida mengatakan, mengapa yang dihitung hanya 65% karena 35% digunakan untuk jasa penyimpanan daya listrik ke jaringan PLN.
"Yang diekspor ke PLN, 65%, kenapa? bahwa penyediaan listrik itu termasuk pembangkit sama transmisi. Masa pelanggan gunakan transmisi nggak bayar ke PLN. Ibaratnya buat nyimpan (listrik)," sebutnya.
Menurut Rida, Rida Mulyana, pelanggan PLN bisa balik modal dalam 12 tahun. Balik modal yang dimaksud untuk menutup biaya pemasangan PLTS atap.
Perhitungan tersebut dengan mempertimbangkan biaya pemasangan PLTS atap di kisaran US$ 1/Watt peak (Wp) atau US$ 1.000/kilowatt peak (kWp). Kemudian pengembalian modal dihitung dari kelebihan daya yang dijual ke PLN yang dihargai 65% dari total yang diekspor ke PLN.
"Itu payback-nya (balik modal) bisa beda, kalau 65% periodenya 12 tahun," katanya.
Secara terpisah, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Harris merincikan hitung-hitungannya.
Pengembalian modal selama 12 tahun itu dengan asumsi pelanggan PLN yang memakai PLTS atap hanya menjual 10% listriknya. Angka 10% ini berdasarkan kebiasaan penggunaan PLTS atap.
"Ada hitungan sederhana, dengan kasus yang 10% diekspor ini maka payback return-nya kalau yang 10% kalau konversinya 0,65 (65%) itu payback-nya 12 tahun," tambahnya.
Menteri ESDM Ignasius Jonan mengaku mendapatkan kritikan dari salah satu konsumen listrik. Konsumen itu mengeluhkan tentang harga jual ke PLN yang dianggap tidak adil.
"Pagi tadi ada masukan ke saya Pak kenapa kalau kita punya PLTS di atap jualanya ke PLN dihitung hanya 65% dari tarif yang dijual ke saya. PLN tuh kalau jual bukan subsidi Rp 1.467 per kwh, nah kalau kita jual ke PLN kira-kira Rp 1.000 per kwh," ujarnya dalam acara International Business Summit 2018 yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni ITS di Hotel Indonesia Kempinsky, Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Komponen pembentuk harga jual listrik diketahui ada dua, yakni dari sisi pembangkit dan distribusi. Menurut Jonan hitungan itu justru adil baik bagi PLN maupun konsumen. Sebab konsumen hanya menyediakan PLTS saja, sementara penyalurannya menggunakan jaringan distribusi dan gardu milik PLN.
"Nah rule of thumb-nya biaya elektrifikasi itu 2/3 untuk pembangkit, 1/3 jaringannya. Malah kalau lokasinya jauh bisa separuh-separuh. Jadi menurut saya adil," ujarnya.
TAG#Kementerian ESDM, #Tenaga Surya, #PLN, #Ignasius Jonan
190234000
KOMENTAR