Polri Tolak Bentuk TGPF untuk Kerusuhan Mei 2019

Sifi Masdi

Friday, 14-06-2019 | 09:24 am

MDN
Kapolri Jenderal Tito Karnavian [ist]

Jakarta, Inako

Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon mendorong pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengungkap kerusuhan 21-22 Mei 2019. Namun usul itu ditolak Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

Menanggapi dorongan pembentukan TGPF kerusuhan 21-22 Mei, Tito mengatakan jika Polri memilih menggandeng Komnas HAM dibanding pembentukan TGPF. Polri telah membentuk tim yang dipimpin Irwasum untuk menelusuri ada-tidaknya pelanggaran HAM oleh aparat pada penanganan rusuh 21-22 Mei.

"Pertama, tim yang sudah ada sekarang dari investigasi Polri itu dipimpin langsung oleh orang ketiga di Polri. Ini penting karena unsur internal ini bisa menembus batas-batas dalam institusi sendiri," ujar Tito di kawasan Monas, Kamis (13/6/2019).

Tito sadar tim internal yang dipimpin Irwasum itu memiliki kelemahan karena memiliki ruang terjadinya konflik kepentingan. Oleh karena itu, dia membuka komunikasi dengan Komnas HAM.

"Mungkin kelemahannya dianggap protektif. Oleh karena itu, kami membuka komunikasi dengan Komnas HAM juga silakan untuk melakukan. Untuk apa ada TGPF kalau seandainya kalau Komnas HAM adalah otoritas resmi yang dibentuk oleh UU dan bukan posisinya di bawah presiden, apalagi di bawah Polri," tutur Tito.

"Kita percayakan kepada Komnas Ham dan tim investigasi untuk bisa menembus ke dalam institusi sendiri. Karena TGPF untuk menembus sangat sulit untuk meminta outsider. Tapi insider lebih mudah menembus. Tapi membuka ruang kepada outsider yang merupakan otoritas resmi," sambung Tito.

Hal senada juga diungkapkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dia meminta masyarakat mempercayakan Polri untuk mengusut kerusuhan 21-22 Mei.

"Percayakanlah itu pada Polri. Mereka itu berbuat profesional kok. Ada bukti, dijelaskan ke publik, ada konferensi pers, data-datanya lengkap. Jadi saya kira serahkan ke Polri," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (13/6).

Terkait kredibilitas Polri dalam mengusut kasus ini, kata Yasonna, nantinya bisa diperdalam Komisi III DPR selaku mitra kerja Polri. Para anggota Dewan yang mewakili masyarakat bisa meminta penjelasan lengkap Polri terkait kerusuhan 21-22 Mei.

"Kan nanti yang mengontrol mereka Komisi III, nanti dipanggil DPR. Ya jelaskan ke DPR. DPR bisa minta penjelasan terang benderang ke Polri," ujar Yasonna.

Di sisi lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) sebelumnya telah menyatakan menerima tawaran menjadi anggota tim pencari fakta terkait kerusuhan 21-22 Mei yang dibentuk Polri. Namun tawaran itu ditolak karena Komnas HAM ingin tetap menjaga independensi.

"Yang lain adalah sebagai respons juga, kami ditawari untuk jadi anggota tim pencari fakta kepolisian dan ini sudah nyebar di mana-mana. Sikap kami menolak untuk bergabung dengan TPF yang dibentuk polisi. Kami ingin mempertahankan independensi kami. Meskipun tentu saja untuk mencari keterangan, segala macamnya, mencari info seperti tadi yang tuntutan yang disampaikan, memanggil Kapolri dan lain sebagai macam, kita juga akan koordinasi dengan kepolisian," kata Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Anak Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/5/2019).

Kendati demikian, Ulung mengatakan pihaknya tetap berkoordinasi dengan Polri untuk menggali informasi mengenai kerusuhan 21-22 Mei. Salah satu poin yang dikoordinasikan dengan Polri terkait dengan penggunaan peluru saat pengamanan aksi di depan Bawaslu.

"Hari ini Ketua Komnas dan Koordinator Sub-Komisi Penegakan, Komisioner Amir, ketemu dengan Polri. Kayaknya Irwasum, karena Irwasum yang diberi tugas oleh Kapolri untuk mencari fakta. Hari ini juga kami sedang koordinasi dan bertemu untuk dengan Kepolisian Republik Indonesia untuk mencari keterangan. Kami juga, soal misalnya peluru tajam, kami juga akan minta hasil dari Laboratorium Forensik untuk uji balistiknya. Dari mana senjatanya, kan kita juga dari sisi Komnas tidak mudah untuk mengambil kesimpulan, apakah itu aparat atau bukan. Segala macam. Tapi harus didasarkan pada uji balistik," ujar dia.

 

KOMENTAR