Prof Azra Tampil Sebagai Pembicara Kunci Dalam Simposium Internasional STF Ledalero

Binsar

Tuesday, 10-09-2019 | 06:48 am

MDN
Prof. A. Azra [dokumen kampus]

Maumere, Inako

Nama Prof. Dr. Azyumardi Azra tidak asing lagi bagi masyarakat nasional maupun internasional. Melalui publikasinya dalam bentuk buku, artikel ilmiah dalam jurnal nasional maupun internasional, dan opini yang dimuat dalam media cetak maupun media online di tanah air, masyarakat akan sampai pada kesimpulan bahwa beliau adalah seorang tokoh intelektual muslim yang selalu mengedepankan perspektif Islam progresif.

Jumat, 06 September 2019, bertempat di aula Santo Thomas Aquinas di lembaga pendidikan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Prof. Azra tampil sebagai pembicara kunci dalam sesi pertama simposium internasional. Dalam simposium internasional ini, beliau membahas tema yang menarik dan sangat kontekstual yaitu revitalisasi wawasan kebangsaan (Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika). Simposium internasional ini dimoderatori oleh P. Ferdinandus Sebho, SVD. Paparan Prof. Azra kemudian ditanggapi oleh Rm. Dr. Mathias Daven, Pr.

 Dalam kata sambutannya, P. Dr. Otto Gusti Madung, SVD mengucapkan terima kasih kepada Prof. Azra yang bersedia memenuhi undangan STFK Ledalero untuk mejadi pembicara kunci dalam simposium internasional yang dikoordinasi oleh P. Dr. Felix Baghi, SVD sebagai ketua seksi akademik dalam kepanitiaan emas STFK Ledalero. Ketua STFK Ledalero juga mengungkapkan kebanggaannya terhadap sosok Prof. Azra yang berani tampil sebagai seorang intelektual yang menawarkan pikiran-pikiran brilian dan progresif seputar Islam dalam hubungannya dengan negara dan agama-agama lain.

 

 

“Mayoritas civitas akademika tentu sudah mengenal Prof. Azra melalui tulisan-tulisannya yang padat makna dan berguna bagi kehidupan bersama. Hari ini adalah hari yang spesial bagi kita semua karena kita berkesempatan untuk menjumpai Prof. Azra secara langsung dan mendengarkan paparan materinya yang tentunya akan memberikan warna yang khas bagi perjalanan intelektual kita di lembaga STFK Ledalero ini”, ungkap Pater Ketua STFK Ledalero di hadapan para peserta simposium internasional hari ketiga sesi pertama.

Revitalisasi Wawasan Kebangsaan

Dalam konteks global, Indonsia dikenal sebagai salah satu dari sedikit negara yang menjunjung tinggi kemajemukan. Kondisi kemajemukan di Indonesia menjadi salah satu potensi yang membuat banyak negara memuji Indonesia.

Namun, akhir-akhir ini, menurut Prof. Azra, ada segelintir orang yang mengorganisasikan diri dalam sebuah kelompok radikal dan mencoba menggugat dan menolak kemajemukan di Indonesia. Ada usaha untuk melakukan penyeragaman (homogenisasi) dan dengan itu menolak prinsip Bhineka Tunggal Ika. Ada pula upaya untuk membentuk sebuah negara khilafah yaitu satu entitas politik tunggal bagi seluruh umat Islam yang ada di seluruh dunia. Selain itu, ada juga usaha untuk mendirikan daulah Islamiah atau negara Islam. Berbagai fenomena ini, dalam analisis Prof. Azra, disebabkan oleh minimnya kalau tidak mau disebut tidak ada sama sekali wawasan yang memadai tentang kebangsaan. Untuk itulah, upaya revitalisasi wawasan kebangsaan adalah sebuah kebutuhan yang urgen.

“Kita perlu menghidupkan kembali wawasan kebangsaan yang bisa menjadi awal yang baik bagi terciptanya harmonisasi dan toleransi dalam kehidupan bersama yang ditandai oleh keberagaman”, tegas Prof. Azra.

Pertanyaan kunci yang disampaikan oleh Prof. Azra kepada para peserta simposium internasional adalah mengapa Pancasila harus direvitalisasi? Dalam analisis Prof. Azra, Pancasila adalah sebuah berkat bagi Indonesia karena dia bisa merangkul kemajemukan. Sila pertama dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sanggup menjadi perekat yang mempersatukan dan mengharmoniskan semua pemeluk agama yang berbeda satu dengan yang lain. Sila pertama ini juga, menurut Prof. Azra, harus menjadi alasan utama untuk membendung ego pemeluk agama tertentu untuk mengklaim bahwa Tuhan dan agama mereka sajalah yang benar, sedangkan pemeluk agama lain dipandang sebagai orang kafir yang mesti segera ditobatkan dengan cara pemaksaan menjadi pemeluk agama mereka.

“Beragama itu adalah urusan kesukarelaan yang didasarkan pada suara hati nurani pribadi dan bukan perkara paksaan. Orang yang dipaksa atau secara terpaksa memeluk sebuah agama tertentu sebenarnya adalah pemeluk agama asal-asalan”, jelas Prof. Azra.

 

 

Prof. Azra juga secara tegas menolak tindakan kaum radikalis dan ekstremis yang berupaya menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara dengan ideologi agama tertentu. Itu berarti, wacana dan aksi untuk mendirikan negara Islam mesti ditolak mentah-mentah oleh semua pihak.

“Indonesia adalah sebuah negara yang majemuk. Sebagai negara yang majemuk, Indonesia adalah negara beragama, bukan negara agama. Ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin agama eksklusif agama tertentu tidak pernah boleh menjadi pedoman dan landasan kehidupan bernegara di Indonesia. Sampai saat ini, Pancasila tetap diandalkan sebagai sebuah ideologi terbuka yang bisa mengayomi dan merangkul secara harmonis perbedaan-perbedaan yang ada di tengah masyarakat”, ungkap Prof. Azra.

Prof. Azra juga mengungkapkan bahwa dirinya sering menuai kritikan ketika mengatakan bahwa Indonesia adalah sebuah negara sekuler. Mayoritas umat Islam memandang istilah sekuler secara peyoratif yaitu tidak menjalankan kegiatan keagamaan. Perspektif seperti ini, menurut Prof. Azra sangat keliru dan mesti diredefinisi. Indonesia adalah sebuah negara sekuler karena Indonesia sebagai sebuah negara tidak dibangun atas dasar ajaran agama tertentu.

“Indonesia sebagai sebuah negara sekuler mesti bangga memiliki Pancasila karena dengan Pancasila, Indonesia tidak mejadi negara sekuler murni karena masih memegang teguh sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa”, jelas Prof. Azra.

Klaim Kebenaran Versus Wawasan Kebangsaan

Rm. Dr. Mathias Daven, Pr mengawali tanggapannya terhadap presentasi Prof. Azra dengan mengajukan sebuah tesis provokatif yaitu agama-agama bukan pendukung utama wawasan kebangsaan. Secara historis, agama pada masa dulu memegang teguh prinsip hanya kebenaran yang memiliki hak. Itu berarti bahwa ada sekelompok orang yang berhak mengklaim kebenaran dan melihat kelompok lain sebagai yang tidak mempunyai kebenaran.

Prof Azra dan Dr. Matias Daven [dokumen kampus]

 

Kelompok yang tidak mempunyai kebenaran dipandang sebagai kelompok yang tidak memiliki hak. Baru pada periode kelahiran abad pencerahan, persepsi hanya kebenaran yang memiliki hak kemudian berubah menjadi persepsi hanya person atau pribadi yang memiliki hak.

“Sejauh dia manusia, dia memiliki hak-hak dan sesama wajib menghargai hak-haknya”, jelas Rm. Dr. Mathias Daven, Pr.

Dalam analisis penanggap, bukan agama melainkan kebudayaanlah yang menjadi faktor utama pemersatu masyarakat multikultural. Kebudayaan macam apa? Kebudayaan, sebagaimana dipaparkan oleh penanggap, adalah kerangka orientasi yang ditopang oleh nilai-nilai yang sudah disepakati secara bersama. Dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka yang berasal dari nilai-nilai asli Indonesia yang sudah disepakati secara bersama oleh para founding fathers.

Karena kebudayaan memainkan peran yang sangat vital, maka inkulturasi Islam ke dalam kebudayaan Nusantara menjadi sebuah upaya untuk mengembalikan wajah Islam yang harmonis. Hanya dengan inkulturasi Islam ke dalam kebudayaan nusantara dapat melahirkan dua unsur fundamental identitas yang bisa saling melengkapi yaitu: Ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an”, tutur dosen filsafat STFK Ledalero ini.

Prof. Azra dan Dr. Mathias sependapat bahwa pendidikan multikultural merupakan sebuah upaya untuk menangkal radikalisme, fundamentalisme, dan ekstrimisme. Pendidikan multikultural menjadikan peserta didik sebagai subjek yang bersedia mengakui perbedaan-perbedaan yang ada yang bebas ditampilkan bukan hanya di ruang privat, melainkan juga di ruang publik. Selain pembumian pendidikan multikultural, penanggap juga memproposalkan agar setiap pemeluk agama memegang teguh prinsip kesaksian dan bukannya klaim kebenaran.

“Setiap pemeluk agama mesti tampil sebagai pribadi-pribadi yang berani memberikan kesaksian iman tanpa harus mengklaim kebenaran sebagai milik dan mulai memandang orang lain sebagai kafir”, harap Rm. Dr. Mathias Daven, Pr.

KOMENTAR