Risiko Menjadi Bupati

Johanes

Tuesday, 11-02-2020 | 07:00 am

MDN
Adlan Daie, Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat [ist]

Oleh  : Adlan Daie, Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat

 

Indramayu, Inako


Berbincang dengan H. Dedi Wahidi, Wakil Bupati Indramayu periode 2000-2005 yang kini menjadi anggota Fraksi PKB DPR RI untuk periode ketiganya di suatu kesempatan serius tentang Pilkada Indramayu penulis terdesak dalam kesimpulan bahwa menjadi bupati di era rezim elektoral sungguh berbiaya tinggi dan tersandra jebakan politik rentenir untuk ongkos pemeliharaan kesetiaan partai pengusung dan relawan pendukung yang tinggi pula.

Itulah salah satu sebab mengapa banyak kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) tertangkap KPK. Bupati Indramayu, H. Supendi yang terjerat OTT KPK bersama sejumlah pejabat pelaksana teknis di Dinas PUPR dan seorang broker swasta tak luput pula dari jebakan politik rezim elektoral berbiaya tinggi dan politik rentenir ini dengan varian modus yang makin canggih dan dinamis.

Jualan visi religius hanya cara muslihat konseptual untuk mencanggih-canggihkan diri di ruang publik, jauh panggang dari api. Visi religius yang mulia dan beradab berjarak ribuan kilometer dengan prilaku muslihat politiknya kecuali sekedar tampilan fisik berbaju koko dan kopiah di acara-acara safari Ramadhan dan hari-hari besar agama (Islam). 

Problemnya tidak semata-mata terletak pada sosok seorang bupati tidak berintegritas dan berprilaku muslihat saja melainkan jebakan politik elektoral berbiaya tinggi dan bersifat rentenir politik menyandra ketat kenyamanan jabatan bupatinya. Menggodanya untuk berlaku curang dan culas demi stabilitas posisi politiknya.

Kita masuk ke kalkulasi teknis secara regulatif dan perkiraan ongkos politik serta biaya pemeliharaannya yang ditanggung seorang bupati. Perkiraan gaji pokok sebesar 6 juta rupiah dan seluruh biaya hidup dari bangun tidur hingga tidur kembali dibiayai negara dengan kemungkinan take home pay sebesar 50 juta rupiah setiap bulan bisakah seorang bupati mengembalikan ongkos politiknya selama proses mengikuti pilkada, tuntutan biaya pemeliharaan kesetiaan partai pengusung, relawan pendukung, biaya silaturahim bersama ormas, tokoh,  salam tempel dan saweran lainnya?

Biaya non buggeter sebagaimana digambarkan diatas dengan asumsi secara minimalis sebesar 15 juta setiap hari (450 juta/bulan atau 5,4 milyar/tahun) tentu seorang bupati sulit menutupi biaya politik diatas dan kemewahan- kemewahan aksesoris kehidupan lainnya kecuali jalan instan jual beli jabatan, ijon proyek, bisnis perijinan dan muslihat culas lainnya.

Tidak mengherankan kasus OTT KPK yang menjerat seorang bupati tidak menimbulkan efek jera, malu, nista dan tragis bagi bupati di tempat lain selain mengikuti jejaknya dijerat KPK pula karena sandra dan jebakan politik rentenir yang dihadapinya bersifat terstruktur,  sistemik dan massif. Itulah skenario jebakan sistemik politik rentenir sulit dihindari oleh seorang bupati.

Pesan yang hendak disampaikan dari gambaran resiko yang dihadapi seorang bupati di era rezim politik elektoral dan resiko politik rentenir turunannya di atas adalah :

Pertama, perlu political will dari pemerintah untuk tidak membiarkan jebakan politik biaya tinggi dan bersifat rentenir di atas. Mendagri Tito Karnavian tidak cukup sekedar berkeluh kesah dengan mata rantai jebakan politik rentenir ini. Kewenanngan sebagai Mendagri harus mampu mencari cara desain ulang sistem pilkada murah termasuk menutup peluang praktek mahar politik.

Melarang untuk tidak korupsi tanpa solusi regulatif terkait sistem pilkada dan kenaikan take home pay seorang bupati sama saja dengan menghadapkan seorang bupati pada situasi ibarat makan buah si malakama. Tidak korupsi beresiko kursi jabatannya oleng dan sebaliknya mengambil jalan pintas korupsi maka tinggal menunggu waktu tangannya diborgol KPK secara nista dan memalukan.

Kedua, para bakal bakal calon bupati Indramayu yang gambar- gambarnya bertebaran di pinggir-pinggir jalan, menggantung di pohon-pohon dan lain-lain maknailah ikhtiar untuk menjadi bupati secara mental spritual sebagai pilihan jalan menderita. _"Leiden is ledjin"_ , memimpin adalah jalan menderita. Demikianlah Agus Salim, tokoh pergerakan nasional menggambarkan getirnya pilihan pengabdian di jalan politik

Kisah blusukan Umar bin Khattab ke kampung-kampung terpencil dan Umar bin Abdul Aziz yang membentak putranya menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi sebagaimana antara lain digambarkan dalam kitab _"Al Imamah wa syiasah"_ karya Qutaibah sebuah contoh bahwa pilihan menjadi pemimpin adalah jalan menderita untuk kemuliaan pengabdian bukan untuk pencitraan politik kampungan dan primitif yang gemar diviralkan di ruang media sosial seperti hari ini.

Para bakal calon bupati Indramayu di atas mulailah berfikir secara revolusioner bahwa rakyat di era gegap gempita media sosial tidak akan menghormatinya hanya karena aksesoris jabatan bupati yang disandangnya, tidak karena jualan visi religius secara viral dan mendekti dan tidak pula hanya karena dikawal-kawal mobil patwal dengan pakaian dinas ala Dandles melainkan seberapa besar ia bersungguh- sungguh menghayati penderitaan rakyat yang dipimpinnya.

Selamat berikhtiar menempuh pilihan jalan menderita untuk kemuliaan mempimpin Indramayu. Hakekat kepemimpinan politik adalah _"tashoruful imam 'ala al roiyah manutun bil maslahah"_, yakni kepemimpinan yang terikat ketat resonansinya dengan maslahat publik bukan menjadi barisan waiting list yang akan menyusul diborgol KPK.

Semoga bermanfaat.

KOMENTAR