Saling Tuduh Wiranto-Kivlan Zen Dilihat Sebagai Momen Tuntaskan Kasus Mei 1998

Jakarta, Inako
Menko Polhukam Wiranto kepada mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen untuk melakukan sumpah pocong terkait tuduhan sebagai dalan kerusuhan Mei 1998. Tantangan Wiranto ini menuai polemik dan menuai tanggapn dari pegiat hak asasi manusia (HAM).
Mereka menilai, aksi saling serang antara kedua jenderal itu justru menjadi momentum bagi pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM, khususnya yang terjadi pada 1998.
Polemik ini bermula saat dalam sebuah diskusi, Senin (25/2/2019), Kivlan Zen menyebut Wiranto sebagai dalang kerusuhan 1998. Wiranto pun membantah pernyataan Kivlan tersebut. Ia menantang Kivlan melakukan sumpah pocong.
"Siapa yang sebenarnya dalang kerusuhan itu? Supaya terdengar di masyarakat, biar jelas masalahnya. Jangan asal menuduh saja," kata Wiranto.
Terkait hal itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam mengusulkan agar polemik antara Wiranto dan Kivlan Zen diselesaikan melalui mekanisme penegakan hukum.
Usulan ini disampaikan mengingat kasus kekerasan yang terjadi pada 1998 seperti kasus Mei 1998, Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II telah dinyatakan sebagai pelanggaran berat HAM oleh Komnas HAM.
"Perdebatan Pak Wiranto dan Pak Kivlan Zen mengenai apa yang terjadi pada 1998, baik terkait kasus Mei 98 ataupun Trisakti Semanggi I dan II, siapa yang bertanggungjawab, lebih baik diletakkan dalam narasi penegakan hukum," ujar Anam kepada media Rabu (27/2/2019).
"Hal ini juga menyangkut bahwa kasus-kasus tersebut telah dinyatakan sebagai kasus pelanggaran HAM yang berat oleh Komnas HAM, dan berkas perkaranya sudah ada di Jaksa Agung sejak beberapa tahun yang lalu," kata dia.
Menurut Anam, ada beberapa mekanisme penegakan hukum yang dapat ditempuh. Pertama, Wiranto dan Kivlan dapat menemui Jaksa Agung untuk memberikan keterangan serta kesaksian.
Kedua, memberikan keterangan kepada Komnas HAM, meski pada akhirnya keterangan tersebut tetap akan dikirimkan kepada Jaksa Agung sebagai penyidik masus pelanggaran berat HAM.
"Kami yakin kalau kedua tokoh tersebut meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan akan melakukan hal tersebut, kecuali bila perdebatan yang telah muncul di publik ini hanya bagian dari narasi politik sesaat dalam momentum pilpers. Ini sangat disayangkan," kata Anam.
Mekanisme lain yang dapat dijalani, lanjut Anam, Jaksa Agung dapat memanggil kedua tokoh tersebut untuk memberikan keterangan.
Pemanggilan tersebut bertujuan untuk melengkapi berkas kasus yang telah dikirimkan oleh Komnas HAM. Langkah ini, menurut Anam, merupakan terobosan hukum untuk memastikan keadilan bagi korban dan hak atas kebenaran bagi publik luas.
Di sisi lain, Jaksa Agung dapat menerbitkan surat perintah penyidikan kepada Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan.
"Kedua jalan di atas, merupakan jalan terbaik bagi kepentingan bangsa dan negara, yang berdasarkan pada hukum dan HAM. Daripada debat tanpa ujung dan tawaran mekanisme hanya bersifat jargon semata," kata Anam.
TAG#Kerusuhan Mei 2019, #Komnas HAM, #Jaksa Agung, #Wiranto, #Kivlan Zen
190215217
KOMENTAR