Sejumlah Elemen Masyarakat Tolak Saksi Parpol Dibiayai APBN

Sifi Masdi

Friday, 19-10-2018 | 13:47 pm

MDN
Pengamat politik LIMA Ray Rangkuti [ist]
"Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pemerintah memang wajib memfasilitasi (saksi parpol). Tapi bukan kewajiban. Jadi parpol itu boleh mengajukan saksi, boleh juga tidak,"

 

Jakarta, Inako

Sejumlah elemen masyarakat beramai-ramai menolak usulan Komisi II DPR RI agar APBN membiayai penuh saksi Pemilu dari partai politik.

Pengamat politik LIMA Ray Rangkuti mengatakan, keberadaan saksi partai politik pada Pemilu bukanlah kewajiban undang-undang. Oleh sebab itu, tidak mungkin APBN membiayai sesuatu yang tidak mempunyai dasar hukum.

"Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pemerintah memang wajib memfasilitasi (saksi parpol). Tapi bukan kewajiban. Jadi parpol itu boleh mengajukan saksi, boleh juga tidak," ujar Ray dalam konferensi pers penolakan APBN membiayai saksi parpol di bilangan Jakarta Timur, Kamis (18/10/2018).

Saksi parpol diatur pada Pasal 360 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, yakni berbunyi, "pelaksanaan pemungutan suara disaksikan oleh saksi partai politik peserta pemilu dan saksi pasangan calon.

Adapun, pada ayat (6) disebutkan, "saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyerahkan mandat tertulis dan partai politik peserta pemilu atau pasangan calon/ tim kampanye."

"Jadi logika kita, sesuatu yang tidak diatur di dalam undang-undang kewajibannya sebagai perangkat dari negara, kok tiba-tiba diusulkan dibiayai oleh negara, dari mana logikanya?" lanjut Ray.

Saksi yang diamanatkan oleh UU Pemilu hanyalah saksi dari Badan Pengawas Pemilu atau yang disebut 'Pengawas Tempat Pemungutan Suara'. Pasal 89 ayat (2) UU Pemilu menyebut bahwa, "Bawaslu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, Bawaslu Kelurahan/ Desa, Panwaslu LN dan Pengawas TPS." Di Pasal 91 ayat 7 ditegaskan kembali bahwa "Pengawas TPS berkedudukan di setiap TPS.

Hal yang senada juga diungkapkan ole Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow. Ia mengatakan  tidak ada dasar hukumnya saksi Parpol dibiayai oleh APBN. Kalau itu terjadi, maka ia memperkirakan akan sulit memenuhi azas akuntabilitas.

"Misalnya, apakah dana itu benar-benar digunakan untuk saksi? Bagaimana memastikan itu? Jangan-jangan dipakai untuk kepentingan lain?" ujar Jeirry dalam konferensi pers yang sama.

Apalagi, ada partai politik yang jumlah calegnya tidak sesuai kuota dalam suatu daerah pemilihan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah saksi parpol di daerah pemilihan tersebut tetap dibiayai? Tentu akan berdampak pada persoalan hukum apabila dana tetap mengalir.

Apabila partai politik ingin kualitas pengawasan Pemilu ditingkatkan, salah satu solusinya bukan meminta saksinya dibiayai APBN, melainkan penguatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) secara kelembagaan.

"Mendingan parpol itu berkoordinasi dengan Bawaslu. Bawaslulah yang harusnya diperkuat, bukan malah sesuatu yang tidak diatur dalam undang-undang," ujar Jeirry. 

Penolakan yang serupa juga diungkapkan oleh Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto. Namun ia lebih menyoroti karakter partai politik di Indonesia yang semakin lama semakin membebani negara.

"Tentu kami menolak itu. Apabila itu diakomodasi, artinya partai politik menjadi benalu karena menumpang hidup pada negara lewat APBN," ujar Arif.

Ia pun menyebut, kepemimpinan partai politik di Indonesia saat ini masih bersifat oligarki. Dengan demikian, patut diduga lembaga negara legislatif tengah disusupi oleh kepentingan kelompok politik tertentu hanya demi mendapatkan keuntungan. Arif juga menduga kuat bahwa usulan Komisi II DPR RI itu adalah bentuk bargaining politik ke pemerintah.

 

Baca juga :


 

 

 

 

 

KOMENTAR