Tarif Pajak UMKM 0,5% Dinilai Belum Ramah Usaha Mikro

Jakarta, Inako
Basis tarif PPh dari Peraturan Pemerintah No 23/2018 yang dipersoalkan bukan pada basis keuntungan usaha tetapi, dari besarnya peredaran bruto usaha. Versi Pemerintah barangkali jika basis perhitungan PPh dari hasil keuntungan usaha tentu besarnya tarif tidak lagi 0,5 % ( nol koma lima persen), melainkan pada level diatas 5 persen.
Bagaimanapun usaha mikro adalah usaha kerakyatan menyangkut hajat hidup orang banyak yang, dalam penyelenggaraan usahanya hampir tanpa pembukuan atau catatan. Jika ada pembukuan sekalipun paling tinggi in-out semata-mata. Selebihnya management by feeling andalannya.
Persoalan lain yang dihadapi pelaku usaha di sektor UMKM adalah pengadaan bahan baku impor. Pembenahan sektor hulu (bahan baku) membutuhkan langkah nyata para pemangku kepentingan di negeri ini untuk menopang laju usaha mikro, sebelum tarif pajak pph diaplikasikan.
Atas dasar itu pelaku UMKM menganggap aplikasi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu belum sepenuhnya pro-UMKM.
Kelompok usaha mikro yang dalam beleid sebelumnya yakni PP No.46/2013 mendapat perlakuan khusus, kini tanggung jawab perpajakannya disamakan dengan para pelaku usaha kecil dan menengah, padahal kelompok ini selain masih cukup rentan sehingga perlu diperhatikan pemerintah supaya bisa 'naik kelas' dari mikro ke strata usaha di atasnya.
Ketua Umun Asosiasi UMKM Indonesia M. Ikhsan Ingratubun mengatakan, pemerintah harus benar-benar memperhatikan nasib kelompok mikro, sebagai contoh di China misalnya, untuk kelompok yang memiliki omzet setara Rp60 juta per bulan dikenakan pajak 0% pada 2020.
"Ini kan diminta atau dirangsang supaya usaha mikro kecil ini ke ranah formal, supaya menjadi tax payer, tetapi membayar pajaknya harus didasarkan pada keuntungan finansial," kata M. Ikhsan dalam diskusi di Hotel Ibis Harmoni, Jakarta, Rabu (27/6/2018).
Pajak biasanya didasarkan pada keuntungan, sehingga seharusnya pemungutannya juga ditentukan oleh keuntungan. Jika omzet yang dijadikan dasar, sistem yang nantinya dihadirkan akan cenderung tidak berpihak khususnya usaha mikro.
"Jadi keuntungan ekonominya yang harus dilihat, tadi sempat disinggung bahwa ini kan ekonomi kerakyatan, menyangkut orang banyak jadi harusnya pemerintah jangan menyasarnya," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Usaha Kecil dan Menengah dan IKM Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ronald Walla mengatakan, harus ada grand design untuk menyikapi UMKM yang bisa dalam bentuk solusi jangka pendek dan jangka panjang.
Untuk solusi jangka pendek, para pelaku UMKM ini didukung dalam aspek pendanaan, infrastruktur, serta logistik. Sementara itu, terkait dengan solusi jangka panjang, adalah konsistensi terkait kebijakan pemerintah. Selama ini banyak kebijakan yang sering berubah sehingga acapkali membuat para pelaku usaha bingung.
TAG#Pajak, #Ditjen Pajak, #Kemenkeu, #UMKM
190215878
KOMENTAR