YLKI Nilai Jokowi Tak Mampu Kendalikan Konsumsi Rokok

Sifi Masdi

Friday, 15-03-2019 | 12:40 pm

MDN
Ilustrasi bahaya merokok [ist]

Jakarta, Inako

Kebijakan pengendalian tembakau di era pemerintahan Jokowi mengalami kemunduran. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan indikator yang paling menonjol adalah meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular seperti kanker, stroke, ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi. 

"Jika dibandingkan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, terjadi peningkatan tajam pada Riskesdas 2018," kata Tulus dalam diskusi yang diadakan oleh Indonesia Institute for Social Development di Jakarta, Selasa (12/3/2019). 

Tulus mencontohkan, prevalensi kanker  meningkat dari semula sebesar 1,4 persen pada 2013 menjadi 1,8 persen pada 2018.

Secara berturut-turut, prevalensi stroke pada 2013 dari 7 persen menjadi 10,9 persen pada 2018, ginjal kronis dari 2 persen menjadi 3,8 persen, dan diabetes melitus dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen. 

Meski mengakui rokok bukan penyebab tunggal meningkatnya penyakit tidak menular, kata Tulus, konsumsi produk tembakau ini berkontribusi paling jelas.

"Lebih dari 35 persen orang Indonesia adalah perokok pasif dan 70 persen perokok pasif," katanya. 

Hal ini diperparah data setiap tahun, produksi rokok di Indonesia mencapai 350 miliar batang. "90 persennya dikomsumsi orang Indonesia sendiri," ucap Tulus.

Menurut dia, meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular ini menunjukkan ketidakmampuan Jokowi mengendalikan konsumsi rokok. Akibatnya, kinerja BPJS Kesehatan makin payah.

"Klimaksnya mengalami financial bleeding pada 2018 mencapai Rp 16,5 triliun." 

Tulus menuturkan, instrumen paling konkrit untuk mengendalikan konsumsi rokok adalah menaikkan cukainya. Sayangnya, kata dia, selama era Presiden Jokowi, persentase kenaikan cukai amat minim. Pada 2017, kenaikan cukai rokok hanya 10,14 persen bahkan pada 2018-2019 pemerintah memutuskan tidak naik.

"Pertama kalinya sejarah negeri ini, cukai rokok tidak dinaikkan, padahal UU Cukai memandatkan bisa dinaikkan hingga 57 persen." 

Padahal, kata Tulus, jika mengikuti standar Badan Kesehatan Dunia atau WHO, cukai rokok minimal 75 persen dari harga retail.

"Pantas saja jika cukai rokok Indonesia itu terendah di dunia yang berimbas pada murahnya harga rokok," ujarnya. 

Tapi, kata Tulus, bukan hanya Jokowi yang terlihat lemah dalam visi pengendalian tembakau. Hal yang sama juga dijumpai pada visi Prabowo Subianto.

"Jika di era Jokowi pengendalian tembakau mengalami kemunduran, visinya Prabowo juga masih mengambang, gak jelas bagaimananya." 

KOMENTAR