15 Tahun UU Adminduk No 23 Tahun2006 & Pentingnya Pencatatan orang Meninggal

Hila Bame

Thursday, 01-07-2021 | 15:58 pm

MDN

 

 

 

JAKARTA, INAKORAN

Undang Undang Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006  pada 2021, memasuki usia 15 tahun. Asesmen yang dilakukan Kelompok Kerja Identitas Hukum dan, Institut Kewarganegaran Indonesia (IKI) terdapat banyak hal yang perlu diperbaiki menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM).

Muhammad Jaedi, Koordinator Pokja Identitas Hukum
 

Muhammad Jaedi, Koordinator Pokja Identitas Hukum,  mengapresiasi terobosan dan penyempurnaan UU No 23 Tahun 2006 pada level aturan serta inovasi pelayanan yang dilakukan Kemendagri/Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil. 

 

"Cakupan kepemilikan akta kelahiran misalnya itu sudah jauh lebih baik, (demikian juga) cakupan kepemilikan KTP-El,  hampir semua hal sudah jauh lebih baik dibandingkan ketika pada awal UU itu dilaksanakan" ujar Jaedi, ketika tampil sebagai salah satu narasumber pada Diskusi Virtual yang digelar Institut Kewarganegaran Indonesia ( IKI) pada Rabu( 30/6/21).

 

Diskusi virtual digelar IKI mengambil tema " Menjelang 15 Tahun berlakunya UU No 23 Tahun 2006; Era Disrupsi dan Tantangan Perubahan" dimoderator Eddy Setiawan, Peneliti Senior IKI.

Eddy Setiawan Peneliti Senior IKI
 

Statistik Hayati

"Di tahun 2024, setiap individu di Asia dan Pasifik bisa memperoleh manfaat dari sistem Pencatatan Sipil dan Statistik Hayati (Ciuil Registration and Vital Statistics/ yang universal dan responsif, yang memfasilitasi perwujudan hak asasi setiap individu serta mendukung tata kelola pemerintahan yang baik, kesehatan, dan pembangunan. 

Untuk mencapai tujuan regional tersebut lahirlah Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 62 Tahun 2019 sebagai penguatan terhadap UU Adminduk  yang telah ada saat ini. 

Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 62 Tahun 2019 berkaitan dengan pencatatan dokumen kependudukan dan Statistik Hayati. Peraturan Presiden (PERPRES) tentang Strategi Nasional Percepatan Administrasi Kependudukan untuk Pengembangan Statistik Hayati. 

  • Peraturan Presiden (PERPRES) ini mulai berlaku pada tanggal 27 September 2019.

Para pengambil keputusan dan kebijakan sangat tergantung dengan data statistik vital yang benar. Pasalnya, pencatatan kelahiran dan kematian dan penyebab kematian merupakan bagian dari sistem pencatatan yang terus menerus harus dilakukan secara permanen dan wajib mencakup keseluruhan kejadian penting. 

Pada bulan Mei 2021,  publik dikejutkan dengan berita bahwa; terdapat hampir 100 ribu data aparat sipil negara (ASN) misterius. Dibayar gajinya, dibayar iuran pensiunnya, tapi tak ada manusia nya' kata Bima Haria Wibisana, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam tayangan YouTube Pengumuman BKN Kick Off Meeting Pemutakhiran Data Mandiri, Senin (24/5).

Kasus itu ditemukan Kepala BKN, pada 2014 masa periode pertama Pemerintahan Joko Widodo.

Kasus 100 ribu ASN menunjukkan bahwa antar instansi pemerintah saja belum ada integrasi data yang diandalkan.  

Sejak UU Adminduk dilaksanakan pada 15 tahun lalu masih perlu penyempurnaan tidak hanya pada hal teknis namun harus menyentuh pasal-pasal  krusial yang perlu ditambahkan dalam beleid itu.

Menurut Muhammad Jaedi, selama ini Disdukcapil kabupaten/kota di seluruh Indonesia telah melakukan perbaikan pelayanan kepada masyarakat untuk mendapatkan dokumen kependudukan, mulai dari akte kelahiran, kartu keluarga dan dokumen lainnya. 

Hanya saja menurut Jaedi belum diatur dalam UU Kependudukan tentang pencatatan kematian seorang warga negara Indonesia dan hal ini belum terakomodasi secara tegas.

Siapa yang mencatat orang meninggal, apakah keluarga atau dinas dukcapil, tanya Jaedi. 

"Nantinya sistem Pencatatan Sipil dan Statistik Hayati (PS2H) menjadi penting karena menghasilkan data yang konsisten bisa dibandingkan sumber data lain karena kejadian penting tercatat menurut waktu dan tempat di mana dibutuhkan". ujar Jaedi. 

Pertanyaan kemudian adalah apakah UU Adminduk No 23 Tahun 2006 perlu tambah sulam atau buat UU baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan tujuan regioanal Indonesia?

Hal ini masih memerlukan diskusi lebih lanjut dan masukan dari para peneliti independen, masyarakat umum dan dunia akademisi. 

Fajri Nursyamsi (Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK)
 

Sementara Fajri Nursyamsi (Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK) pemakalah ke-2 mengatakan bahwa perlu strategi pengaturan dan strategi pemecahan masalah yang berkembang sesuai dengan norma. 

"Masih ada kelompok masyarakat yang tidak tersentuh layanan, sehingga tidak terlindungi hak-haknya (contoh 16% usia 0-17 tahun belum memiliki akta kelahiran)"  tegas Fajri. 

Fajri Nursyamsi (Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK)
 

Dan yang jauh lebih penting lanjut Fajri adalah tuntutan penyediaan layanan yang lebih profesional yang terjalin antar sektor pemerintah dengan memanfaatkan teknologi, untuk mewujudkan layanan yang cepat dan luas, pungkas Fajri. 

 

Diskusi Virtual IKI dihadiri oleh: Muhammad Jaedi, Koordinator Pokja Identitas Hukum,  Fajri Nursyamsi (Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK) KH. Saifullah Ma`shum (Peneliti Senior IKI) Mahendra Kusuma (Peneliti Senior IKI) Swandy Sihotang (Peneliti Senior IKI) dan Juliani W Luthan, Ketua Umum Perkawinan Campuran (PerCa) dan anggota DPR RI  yang peduli pada Kependudukan dan Kewarganegaraan. 

 

Kepada peserta diskusi KH Saifullah M.  pada penutupan diskusi mengajak peserta diskusi terutama para pemimpin lembaga yang berafiliasi dengan IKI untuk bersama-sama mengembangkan wacana perubahan UU No 23 Tahun 2006.

Hal penting ujar KH Saifull, keterlibatan masyarakat serta LSM dan dunia akdemisi untuk mengkaji ulang dan memberi masukan kepada DPR RI agar ke depan UU Kependudukan ini menjadi produk hukum yang bisa memenuhi hak setiap warga negara.

 

KOMENTAR